Maryam juga seorang guru sebagaimana Fatimah. Para wanita dari al-Quds setiap hari mendatangi rumah Maryam pada waktu tertentu untuk mendapati nasihat dan pelajaran darinya. Maryam menjelaskan kepada mereka tentang isi Taurat, kisah hikmah para nabi, dan menyampaikan ceramah tentang ahlak yang mulia. Ketika sang putra mendapatkan wahyu berupa Injil, Maryam pun melanjutkan pengajarannya dengan bersandar pada kitab yang diturunkan kepada putranya. Begitu pula dengan Fatimah. Ia adalah santri dan pemberi nasihat Alquran yang sejati. Buku catatan yang Fatimah gunakan saat memberi pelajaran disebut dengan “Mushaf Fatimah”. Di luar perkataan yang baik seperti ini, Maryam maupun Fatimah bukan orang yang banyak bicara. Keduanya senantiasa lebih memilih berdiam diri dalam keadaan tafakur daripada ikut dalam keramaian. Apalagi, keramaian yang sarat dengan ghibah dan perkataan yang tidak berguna. Semoga Allah rida terhadap kedua ibunda ini dan para ibunda kita yang lainnya.... -o0o- 44252. Para Hawari dn Jmun al-Maidah Begitu cepat waktu berlalu. Masa tiga puluh tahun serasa tiga puluh bulan. Demikianlah waktu yang dialami sepanjang kehidupan Nabi Isa. Takdir telah membawanya terus berlari dan berlari cepat dalam masa yang singkat. Setiap hari, setiap waktu, dan setiap saat Isa berlari dari ujung ke ujung kota al- Quds demi berdakwah. Dalam perjalanan dakwah ini, para hawari ikut menyertai. Mereka, para pemuda yang di kemudian hari menyebut Rasul dengan sebutan “Mualim”, suatu hari telah berkata demikian, “Seandainya Tuhanmu menurunkan makanan bagi kami dari langit sehingga hati kami pun menjadi tenang...!” Nabi Isa tersentak kaget dengan permintaan seperti itu. Apalagi, para hawari ini telah menyaksikan begitu banyak mukjizat yang jauh lebih besar daripada makanan dari langit. Lebih dari itu, mereka adalah para santri yang telah mendengarkan langsung dari utusan Allah. Bukankah seharusnya hati mereka jauh lebih tenang? Karena hal inilah Isa sedikit gemetar saat memandangi mereka. 443“Jika ada sedikit iman pada diri kalian, takutlah kepada Allah.” -o0o- “Hati seorang ibu tidak pernah tertidur,” demikian dikatakan sebagian orang. Semakin banyak mukjizat besar dan semakin tegas ajaran nabawi, Maryam kian mengkhawatirkan putranya. Meski Maryam yakin bahwa tugas kenabian yang telah dititahkan kepada putranya datang dari Allah, kini semua pandangan telah tertuju kepada Isa . Isa juga menyadari keadaan ini. Bahkan, ia meminta para hawari saling berikrar mendukungnya. Mereka pun selalu menyatakan dukungannya demi rida Allah. Mereka telah saling mengikat janji. Dalam keadaan seperti inilah keinginan mereka untuk meminta makanan dari langit terasa sangat berat bagi Isa . Namun, titah takdir telah memiliki banyak arti dan fungsi. Jamuan makanan yang akan diturunkan dari langit memang akan menambah keimanan orang-orang Mukmin. Namun, di sisi lain, hal itu juga akan membuat kekufuran orang-orang kair semakin menjadi-jadi. Dan memang, bersamaan dengan kedatangan mukjizat, diturunkan pula ujian yang sangat besar kepada kaumnya. “Al-Maidah” bisa berarti hidangan makanan, bisa pula berarti “ilmu” sebagai hidangan bagi ruh. Sebenarnya, permintaan para hawari agar hati mereka dapat menjadi tenang sangat memungkinkan jika ilmu yang diinginkan. 444Nabi Isa pun segera mengambil wudu, mendirikan salat, dan mengangkat kedua tangannya untuk berdoa. Allah pun mengabulkan doanya dan menyampaikan peringatan mengenai ujian yang mengikutinya. Setelah Nabi Isa berdoa, turunlah dua makanan dalam warna semerah api di antara dua awan di langit. Makanan berupa ikan tanpa sisik dan duri yang masih hangat terhidang. Di dekat kepala ikan terdapat garam, di sebelah ekornya tampak air lemon, dan di sekelilingnya ada sayuran segar serta lima macam roti. Semua roti itu juga dilengkapi bumbu zaitun, madu, mentega, keju, dan daging. Petrus segera bertanya, “Wahai al-Masih! Apakah ini hidangan surga atau dunia?” “Bukan keduanya. Ini adalah makanan yang telah diciptakan dengan kebesaran Allah dan tidak ada yang menyamainya. Sekarang, silakan makan dan bersyukurlah kepada Allah.” Hari makanan turun dari langit ditetapkan sebagai hari raya bagi umat Nasrani. Limpahan nikmat ini genap empat puluh hari. Setelah hari keempat puluh, meski telah diperingatkan agar orang-orang kaya dan yang tidak sakit dilarang mengambil darinya, mereka tetap melanggarnya. Allah pun mengangkat nikmat itu dan menghukum mereka. Mukjizat yang semakin banyak itu justru diingkari, meskipun pada awalnya percaya. Seolah-olah masyarakat al- Quds telah diuji dengan telah meminta mukjizat. Atas permintaan Maryam mengenai upaya pengamanan putranya, berkumpullah para sahabat terdahulu. Mereka adalah Ham, Sam, Yaves, Yusuf tukang kayu, Merzangus, dan Ibni Siraj yang baru saja kembali dari Gazza. Meski demikian, Nabi Isa tetap tidak menginginkan tugas dakwahnya menjadi 445terhalang. Ketika mereka memikirkan kemungkinan untuk berhijrah kembali ke Mesir dan atau tempat lain, Maryam yang telah mengundang mereka untuk berkumpul pun berkata, “Wahai para sahabat Allah! Kini, Isa adalah seorang rasul yang mengemban risalah-Nya. Tidak mungkin dirinya mengikuti apa yang telah kita pikirkan. Ia hanya akan mengikuti perintah Allah. Dan sebagaimana semua orang, ia juga akan mengikuti kehendak takdir yang telah ditetapkan untuknya. Untuk sekarang ini, apa yang bisa kita lakukan hanya sebatas berdoa.“ Mendengar ucapan ini, luluh sudah hati setiap orang. Mereka terhening dalam kepedihan atas ketidakberdayaan. Mereka semua kini telah menginjak usia lanjut. Ham, Sam, dan Yaves telah hampir berusia delapan puluh. Rambut mereka telah memutih dan hanya dapat berjalan dengan bersandar tongkat. Meski Ibni Siraj telah memasuki usia enam puluh lima, kesehariannya yang gesit telah membuatnya menjadi yang paling muda di antara para sahabatnya. Yusuf tukang kayu dan Merzangus sudah berusia enam puluhan. Bahkan, pedang Ridwan yang selalu Merzangus sandang kini sesekali menggores tanah. Merzangus sendiri kerap mengira ada orang yang datang dari belakang saat suara goresan ujung pedang dengan bebatuan di jalan terdengar. Yusuf sendiri selalu seperti sediakala, tetap setia dan penuh penderitaan hidupnya. Ia menempatkan diri laksana seorang ayah yang 446selalu menanggung kepedihan namun setia. Ia akan selalu mengulurkan tangannya. Namun, ia pun kini telah lelah karena faktor usia. Dan Maryam adalah ibu dari semua umat yang telah mulai memanggilnya, bahkan sejak ia berusia belasan tahun. Ibu yang senantiasa menjaga kehormatan dan keteguhan, sama seperti saat masih kecil dan muda dulu. Malam hari itu semua terlihat menatap dengan pandangan aneh. Tiba sudah waktu bagi para sahabat yang saling mencintai satu sama lain demi Allah itu saling berpisah... Bangkitlah mereka. Berucap doa.... Para sahabat laki-laki berpisah pergi ke gunung tempat untuk mendengarkan pengajian dari Isa al-Masih. Sementara itu, Merzangus bersiap-siap untuk bertakziah ke Wali Pontius Pilatus atas kematian putrinya yang jatuh dari kuda beberapa hari lalu. Saat mengenakan jubah hangat, ia bertanya kepada Maryam, “Apakah Anda tidak ikut bertakziah, Tuan?” Maryam tampak sangat pucat dan sedang berpikir keras. Ia menyampaikan bahwa dirinya tidak lagi kuat untuk mengadakan perjalanan ke istana. Ia hanya menyampaikan salam untuk Prokula, istri sang wali yang secara diam-diam telah beriman kepada Isa. “Sungguh, hatinya sedang begitu bersedih. Semoga Allah melimpahkan rahmat kepadanya. Semoga Allah melindungi kita semua dari kejahatan suaminya yang telah menyelimuti seluruh al-Quds.” Sebenarnya, tidak mungkin Pilatus mengizinkan Merzangus memasuki istana. Namun, karena takut kehilangan istrinya yang sangat berduka setelah kematian putrinya, ia 447pun memutuskan memanggil Merzangus ke istana. Hanya dengan kedatangannyalah Prokula dapat kembali merasa lebih nyaman. “Tidak tega saya meninggalkan Anda malam ini. Namun, Prokula telah begitu lemah sehingga ia hanya menerima diriku ke dalam ruangannya. Berkali-kali dirinya jatuh pingsan karena menahan kepedihan. Mohon izinkan saya menemaninya untuk beberapa saat,” kata Merzangus sambil memandangi wajah Maryam. “Dengan senang hati, pergi dan sampaikan salamku kepada Prokula. Dia saudara seagama dengan kita. Jangan kita meninggalkan dirinya dalam hari yang pedih ini. Kebetulan, malam ini Miryam dari Mecdiye juga akan bertamu. Dia bisa membantuku. Engkau jangan terlalu merasa khawatir, Merzangus.” “Oh ya... masakan untuk makan malam juga sudah saya siapkan. Masih berada di atas tungku. Jika Rasul kita datang bersama dengan para hawari, semoga Miryam dapat membantu menyajikannya. Mohon perkenankan saya pamit! Keduanya pun berpisah... Berpisah dan berpisah... Berpisah untuk tidak pernah bertemu lagi.... -o0o- 44853. Berpsah Slmnya Merzangus telah menceritakan kisah ini kepada Prokula, istri wali Pilatus, ketika mengantarnya ke tempat Maryam menghabiskan waktu untuk beribadah dan mengasingkan diri. “Aku sendiri telah menyaksikan semua mukjizat luar biasa mulai dari sejak lahir! Sebentar lagi kita akan bertemu dengan Ibunda Maryam. Engkau dapat mengetahui secara lebih dekat bagaimana putranya dilahirkan dengan penuh kesulitan. Namun, sejak saat itu pula Maryam telah membekali diri untuk membentengi putranya yang kelak akan membawa mukjizat luar biasa.” Saat bicara seperti ini, Merzangus hanya bisa tersenyum menahan pedih di dalam hatinya mengingat semua peristiwa yang telah terjadi di masa lalu. Merzangus terbatuk-batuk. “Pada masa-masa itu, orang-orang Yahudi telah menganggap bahwa perempuan adalah lebih lemah dari pada anak laki-laki. Inilah adat kehidupan dunia pada masa itu. Kaum wanita sama sekali tidak pernah dianggap sebagai bagian dalam kehidupan oleh para ahli politik, pembesar 449kerajaan, bangsawan, dan bahkan oleh pemuka agama. Maryamlah yang mengguncang kesombongan dan pangkat dunia yang selalu mereka agung-agungkan. Perempuan yang saat diasingkan dari tanah kelahirannya hanya berbekal sehelai pakaian yang melekat di badan. Namun, mereka sama sekali tidak menyadari bahwa perjalanan itulah yang akan membawanya pada pertolongan Ilahi. Sebuah perjalanan yang membawanya menyaksikan Isa al-Masih yang dengan seizin Allah mampu menghidupkan orang yang sudah mati atau menyembuhkan yang sedang sakit keras. Maryam mungkin tidak bisa menunjukkan semua mukjizat agung itu. Namun, Allah telah membuatnya mampu melakukan sesuatu yang juga sangat luar biasa. Allah telah menjadikan Maryam sebagai seorang ibu yang melindungi sang Kalamullah saat semua orang menghardiknya, menghinanya. Dengan kehangatan seorang ibu, pada masa-masa sulit itu Maryam mendekap erat sang putra. Mukjizat kesabaran dan kasih sayang yang begitu luar biasa itu akan menjadi contoh dan panduan bagi seluruh umat manusia di sepanjang masa... Seharusnya engkau menyaksikan masa-masa itu, wahai putriku, Prokula. Saat semua orang melemparinya dengan batu, menghalang-halangi jalannya dengan menebar duri, meneriakinya dengan penghinaan yang tiada tara, memukulinya tanpa kenal kasihan. Namun, dalam semua kesulitan itu, Ibunda kita, Maryam, tetap tegar dalam kecerahan wajah penuh pancaran nur, dengan hati yang teguh penuh dengan kekuatan iman. Ia berjalan dan terus berjalan tanpa sedikit pun bicara. Seolah-olah semua kejadian itu baru saja terjadi pada hari ini. Waktu itu, di tengah-tengah keramaian, aku merasakan 450diriku begitu lemah tak berdaya. Terdetak dalam hatiku untuk mendapatkan jalan keselamatan darinya saat pandanganku bertemu dengan pandangannya. Saat semua warga al-Quds yang telah terbakar hatinya dengan amarah berteriak sekeras- kerasnya, Engkau adalah saudara perempuan Harun, wahai Maryam! Lalu bagaimana engkau begitu terlaknat untuk melakukan perbuatan dosa besar itu! Dengan siapa engkau telah melahirkan anak itu!?’ Sungguh, pedih sekali hati ini aku rasakan saat itu. Aku pun tersungkur seolah-olah ribuan belati yang tajam datang menghunjam. Namun, beribu syukur semoga tercurah ke hadirat Allah. Terjadilah apa yang telah Allah titahkan untuk terjadi. Saat Maryam mengulurkan sang bayi ke hadapan para rahib Baitul Maqdis semua orang yang menentangnya atau berhati sekeras batu pun terdiam seribu bahasa dengan lidah terkunci saat dengan seizin Allah bayi yang baru saja dilahirkan itu dapat berbicara. Sebentar lagi kita akan bertemu dengan Maryam sehingga engkau akan memahami semuanya dengan lebih terperinci...” Perjalanan malam hari itu menyusuri jalan setapak nan terjal, berlika-liku, licin, menyusuri semak-semak belukar pepohonan hena. Akhirnya, Merzangus dan Prokula tiba di sebuah surau kecil di selatan al-Quds. Sepanjang jalan, Merzangus juga bercerita panjang lebar tentang tanaman hena. Ia juga menceritakan petualangannya menyusuri padang sahara yang ia alami di masa kecil bersama Zahter. Entah sudah berapa kali Merzangus menceritakan kisah ini? Seolah-olah semua kejadian yang mengisi waktu kehidupannya sampai saat ini telah begitu padat memenuhi angannya dalam bayangan seperti embusan kabut yang terbang dengan begitu lembut. 451Sungguh, semua kejadian sepanjang kehidupannya itu telah berlalu penuh kepedihan. Meski demikian, ia tetap bersabar dan berusaha tegar seraya menghunus pedang. Ia akan terus berjuang. Meradang dan menerjang menjadi sikap seorang Merzangus. “Pohon perdu ini jenis yang tidak sabar. Ia tidak ingin seorang pun mendekat, menyentuhnya. Persis sekali keadaannya dengan para pengembara yang tak sabar. Hatinya selalu dipenuhi dengan keinginan untuk dapat segera menempuh perjalanan secepat-cepatnya. Itulah kalian, wahai pepohonan hena!” kata Merzangus. Jika disentuh bunganya, bagian itu langsung pecah. Benih dari dalam kelopaknya mencuat dalam waktu dan kecepatan yang membuat semua orang kaget dengannya. Seolah-olah ada sebuah surau tempat dia menimba ilmu dan beribadah yang ingin segera dikunjungi. Seakan-akan ingin sesegera mungkin berlari, menghindarkan diri dari pesona dunia. Berlari dan terus berlari untuk meninggalkan dunia sejauh- jauhnya di belakang... “Berlari menuju ke haribaan Allah,” tambah Merzangus. “Tahukah engkau mengapa bunga hena ini berteriak pedih? Dia katakan lepaskan, biarkan aku! Jangan sentuh aku, jangan halang-halangiku karena aku harus segera pergi! Seolah-olah mereka berteriak, Noli Me Tengere’.... berlari menuju Allah.” -o0o- 452Saat sampai di surau, mereka menyaksikan Miryam sedang bersimpuh di pangkuan Maryam, menangis sejadi-jadinya. “Linangan air mata hamba yang bartobat tidak lebih rendah daripada linangan air mata para hamba zuhud yang meninggalkan keduniaan dan penyabar,” demikian kata Maryam. “Sampai saat ini belum ada seorang wanita ahli tobat yang sedemikian banyak menangis kepada nabi kita, Isa ,” kata Maryam lagi sehingga Miryam pun semakin menjadi-jadi tangisnya. Ia terus bersimpuh di atas pangkuan dalam belaian lembut tangan Maryam. Setelah beberapa saat, keempat wanita itu bersama-sama beranjak pergi ke pemakaman... Ini sungguh perjalanan yang dipenuhi kesedihan. Mereka ditemani lentera yang ikut menahan kepedihan dalam keremangan cahayanya. Semua orang saat itu masih mengkhayalkan nabi mereka yang sedang menikmati makan malam sehari sebelum sang pengkhianat memberitahu kepada wali Roma mengenai keberadaannya. Sampai saat itu pula semua orang masih belum memahami hikmah di balik contoh yang diberikan Nabi Isa untuk selalu bersedekah, baik saat makan maupun setelahnya. Bahkan, Miryam begitu senang mempersiapkan hidangan makan yang penuh dengan pengabdian dan ketulusan. Saat itu, Miryam selalu membersihkan nampan tempat makan dengan mengusapkan minyak yang menjadi kesukaan Nabi Isa. Suatu ketika, Miryam tidak kuasa menahan kepedihan hati sehingga terlintas keinginan untuk membersihkan sisa- sisa makan Nabi Isa dengan harapan agar Allah mengampuni 453dosa-dosanya. Tanpa mengganggu siapa pun, ia membersihkan nampan dan tikar yang digelar untuk acara makan. Miryam begitu malu dengan perbuatan dosa di masa lalu. Setelah bertobat ia tidak pernah melepaskan diri dari pakaian bercadar. Ia selalu merasa malu dengan sesama. Malu dan merasa tersiksa dengan kehidupan masa lalunya. Begitulah seorang Miryam setelah bertobat.... Pada suatu malam, Miryam juga melakukan hal yang sama. Ia merangkak memasuki ruangan untuk membersikan nampan dan semua perkakas tempat makan malam. Saat itu dirinya tidak tega melihat Nabi Isa yang begitu lelah dan merasakan kepedihan dari kedua kakinya yang penuh dengan tusukan duri hingga darah keluar sana. Miryam tidak kuat membayangkan perjuangan Nabi Isa. Ia tak kuasa menahan tangis seraya membersihkan tempat makan. Di tempat duduk Nabi Isa tampak noda darah. Dengan air mata bercucuran, Miryam terus membersihkan bercak-bercak darah itu dengan minyak. Sesampai di pemakaman, mereka mulai mencari-cari berharap ada tanda dari kejadian hukuman mati dilaksanakan siang hari. Meski Merzangus dan Maryam yakin bahwa yang dijatuhi hukuman mati itu bukan Nabi Isa, mereka masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi. Benarkah al-Masih masih hidup ataukah sudah meninggal? Lalu, di mana keberadaan Nabi Isa sekarang? Karena tiga hari ini tidak ada tanda dan kabar dari Isa , keempat wanita itu datang ke pemakaman untuk mendapatkan tanda keberadaanya. Selama tiga hari Maryam dengan tegar menghadapi seluruh kepedihan yang menghunjamnya. Namun, dalam tiga 454hari terakhir ini kepedihan itu menikam hatinya begitu dalam. Ia pun luluh bagaikan lilin yang terbakar. Malam itu, Maryam seakan-akan menjadi seorang ibu yang terhimpit di antara langit dan bumi. Garis takdir sepanjang masa telah mendapati diri Maryam sebagai hamba yang selalu teguh, taat, dan rajin bagaikan seorang santri. Namun, seperti apa pun itu, ia adalah seorang ibu, yang hatinya juga begitu terluka. Remuk jiwanya merasakan kepedihan perasaan yang tidak juga kunjung mengetahui keberadaan putranya. Maryam diam terpaku, seakan-akan seisi jiwanya telah membeku.. Mungkinkah jiwanya membeku? Bagaimana rasa jiwa yang membeku? Kadang air begitu keras membeku, kemudian retak dan patah hingga berkeping-keping. Begitu juga jiwa saat disentuh dingin kepedihan merindukan anak. Jika itu adalah jiwa seorang ibu, saat itulah seisi jiwanya akan membeku kemudian hancur berkeping-keping. Malam itu seakan-akan menjadi masa-masa kelahiran putranya di Betlehem. “Sungguh, kehilangan dirinya sepedih melahirkannya, duhai Tuhanku!” rintih Maryam. Terhimpit hati Maryam. Ingin sekali ruhnya terbang dari jeratan jasadnya. Bukan dengan kedua matanya, melainkan dengan dua ribu mata untuk mencari keberadaan putranya. Ingin sekali kedua tanganya segera mendekap erat-erat putra yang juga nabinya. Remuk hati Maryam.... terbakar kepedihan merindukan putranya... 455Apa yang sebernarnya telah terjadi pada putranya? Padahal, sepanjang hidup, Maryam memang telah mendekap erat-erat sang putra yang lahir tanpa ayah. Maryam ingin sekali meringankan kepedihan putranya dengan mencurahkan seluruh cintannya kepadanya. Namun, begitulah yang terjadi setiap kali menyisir rambutnya, setiap mencium keningnya, setiap mengangkatnya saat terjatuh, setiap memerhatikannya dari kejauhan saat bermain dengan teman-teman sebayanya. Hati Maryam selalu gemetar. Adakah seorang ibu yang bosan memerhatikan anaknya tumbuh? “Ah... kedua tangannya begitu lembut...” pikir Maryam dalam perasaan begitu pedih. “Sungguh, kedua tangannya selembut sutra.” Isa seakan-akan tidak tumbuh dewasa untuk ibunya. Kedua tangannya maksum dan lembut sehingga tak jemu- jemu Maryam membelai dan menciumnya Ia laksana hujan yang mengguyur pada musim semi. Ah, betapa wangi aroma putranya, laksana delima yang diturunkan dari surga, minuman segar yang diambil dari saripati telaga Salsabil di surga. Mutiara. Zamrud. Dialah Isa bagi Maryam. “Rambutnya yang terurai sampai ke keningnya...” pikir Maryam kemudian. “Ah rambut putraku.... sungguh rambutnya...” kata Maryam kemudian seraya hanyut dalam tangis. Pikiran, khayalan, dan perasaannya tumpah merindukan putranya. Baru sekali ini Maryam menyebut Isa al-Masih dengan kata “anakku” dengan suara lantang. Padahal, selama ini tidak pernah Maryam mengatakan “milikku” pada apa pun. Sungguh, ia tidak pernah 456mengatakannya. Ia merasa malu kepada Tuhannya. Baru sekali ini Maryam mengatakan kepada para sahabatnya. “Sungguh, putraku begitu indah bagiku. Tahukah engkau?” tanya Maryam sehingga semua orang pun menangis saat mendengarnya. Maryam saat itu seakan-akan telah berbuka dari puasa bicara. Berbuka dengan jerit kepedihan hati seorang ibu. “Sering aku memerhatikan wajahnya saat tidur. Pada keningnya terurai seikat rambut. Tepat di sini....” “Tepat di sini...,” kata Maryam sambil menunjukkan keningnya sendiri. “Namun, apa yang telah terjadi dengan rambutnya, Merzangus? Di manakah sekarang keindahan wajahnya? Di manakah ia tertidur sekarang? Dengan bantal batukah ia kini tidur? Aku tidak pernah tega dengannya! Tidak tega untuk melihatnya, untuk membelainya, untuk menyentuhnya.” Di pinggir pemakaman, Maryam menggenggam sambil menciumi ranting-ranting pohon cemara yang begemerisik tertiup angin. “Dedaunan ini seharum wangi rambutnya. Wahai sahabatku, pohon Palestina, mengapa selama ini engkau diam saja tanpa memberiku berita akan keberadaan putraku? Mengapa bebatuan dan angin yang bertiup juga terdiam seribu kata?” Sahabat-shabat Maryam belum pernah melihatnya seperti itu. Sungguh, jika seorang anak meninggal sekali, seorang ibu akan meninggal seribu kali. Jika seorang anak hilang sekali, bagi ibu ia berlipat menjadi seribu kali. Seribu kali mati dan menghilang. Dan Maryam telah merasakan ketidaannya. Jika 457Tuhan tidak menuntunnya, jika Ia tidak membentenginya dengan kesabaran yang luar biasa, mungkin saja di malam itu Maryam juga ikut luluh. Merzangus hanya mampu berkata, “Isa al-Masih adalah hamba dan utusan Allah.” “Namun dia juga anakku. Sungguh, dia anakku yang sangat tampan,” kata Maryam memotong kata-kata Merzangus. Jika keduanya mendapati kejadian ini saat masih berusia muda, mungkin hancur dan guncang sudah seisi jiwa. Saat itulah, dalam kondisi yang sudah mulai ringkih karena tua, Merzangus tiba-tiba mengarahkan pedangnya yang terhunus ke arah bayangan seorang musuh dalam kegelapan. Dirinya seakan-akan telah menjadi gila. “Apa yang telah Anda katakan, wahai wanita mulia? Mungkinkah Allah akan meninggalkan Kalamullah-Nya? Pasti Allah akan memberi kabar akan keberadaannya ke dalam hati Anda, ke dalam jiwa hamba yang kembali kepadanya...” Inilah kata-kata Merzangus. Namun, dalam hati, ia juga berkata, “Jika saja angin yang berembus itu adalah seekor kuda tunggangan sehingga aku akan melompat ke atas punggungnya seraya memacunya dengan sangat kencang untuk segera menemukan keberadaan al-Masih. Mereka mencari tanda keberadaan Isa di seluruh pemakaman. Merzangus sesekali menghunus pedangnya seraya menebaskan ke arah kegelapan, menyangka ada suara gemeresik kedatangan musuh yang akan menyerang Maryam. Yang lain berjalan dalam tangisan pilu mencari tanda keberadaan maupun kematian Nabi Isa. Jika Allah tidak menggenggam alam dengan menurunkan kesabaran, niscaya langit akan pecah berkeping-keping karena 458kemarahan-Nya di malam itu. Alam dan isinya tentu tidak akan tinggal diam saat menyaksikan seorang yang maksum dibunuh, bukan? Pernahkah langit terpaku dan membisu saat melihat seorang maksum dihardik tanpa kenal belas kasihan? Pernahkah bumi diam tanpa mengguncangkan dirinya saat Kekasih Allah disiksa? Jika sampai saat ini alam dan isinya masih diam, pasti itu karena kesabaran-Nya. Pada malam itu, langit dan bumi telah menghamparkan kesabarannya seluas- luasnya... Sepanjang malam Maryam membelai setiap nisan. Merebahkan rerumputan yang ada di atasnya dengan air mata kasih sayang. Tanah kuburan pun ikut merintih pedih bersama tangisan Maryam. Jika Allah tidak menurunkan kesabaran kepadanya, niscaya tanah akan terbelah, meneriakkan kemarahan dengan teriakan sejadi-jadinya. Namun, langit dan bumi telah berada dalam kesabaran seorang ibu. Sementara itu, malam masih menyelimuti wajah dalam tangisan kepedihan sehingga malam yang gelap gulita pun menjadi terang di samping Maryam yang begitu menanggung kepedihan perpisahan dengan putranya. Jika seisi alam sedemikian pedih, menjerit, meratapi kepergian Isa, lalu bagaimana dengan Maryam? Apa yang mesti dikatakan kepada seorang ibu yang jiwanya terbelah meratap pedih karena kepergian putranya? Ia mencari dan terus mencari, bertanya kepada setiap makhluk, tanah, embusan udara, runcing duri yang menghalanginya di jalanan, kalajengking yang gemetar lemah dalam sengatan kepedihan, ular yang berlidah setajam pisau, bahkan kepada bulu-bulu burung hantu yang terbang dengan malu. 459Saat dalam keadaan seperti inilah, saat Maryam tak lagi sadarkan diri, mencari dan terus mencari jejak putranya ke segala penjuru, tiba-tiba tercium wangi bunga melati... Bau ini...! Ya, bau ini adalah....! Sampai saat itu pula Miryam tiba-tiba melompat mengejar bayangan kedatangan seseorang dari kegelapan yang dia sangka seorang juru kunci. “Wahai penjaga kuburan! Wahai seorang yang bertugas menggenggam kunci-kunci kepedihan di pemakaman ini! Apakah engkau membawa berita tentang keberadaan tuanku, Isa al-Masih? Tunjukkan kepada kami tempat ia dimakamkan? Atau tunjukkan kepada kami di mana keberadaannya saat ini? Wahai seorang yang menjaga pintu perantara di antara kehidupan dunia dengan alam akhirat, berkenankah membantu kami?” Demikian tanya Miryam. Padahal, bayangan nurani itu tidak lain adalah nur Isa al- Masih yang diutus untuk menemui ibundanya sesaat sebelum kepergiannya. Ia pun mulai menuturkan apa yang sebenarnya telah terjadi kepada mereka, terlebih kepada ibunya agar tidak larut dalam kesedihan. Dirinya telah diangkat ke langit atas izin Allah. Selain itu, sosok yang telah dijatuhi hukuman mati adalah Yahuda yang telah berkhianat karena menjual berita. Itu semua bisa terjadi juga atas kehendak Allah agar orang- orang zalim tertipu dan menangkapnya. Hanya beberapa saat penuturannya... Kemudian, bayangan nur itu tersenyum seraya berbalik sebelum pergi. Terang senyuman pada wajahnya. Tampak jelas hiasan di balik jubahnya yang tak lain adalah hasil 460pintalan Maryam. Kemudian, ia mengangkat jari telunjuknya, mengucap salam dengan menganggukkan kepala, lalu menghilang ke angkasa. Dan lagi, tepat sebelum kepergiannya, ia berpesan kepada ibundanya. “Wahai Ibu, janganlah menangis. Sungguh telah datang waktu yang ditentukan bagi Kalamullah,” katanya berpesan kepada ibundanya dalam tetesan air mata. Mereka pun berpisah... Seperti biasa, Miryam ingin mendekatinya. Berharap untuk sekali lagi dapat melihat wajahnya dari dekat. Namun, Sang Ruh telah berpesan kepadanya, “Mohon relakan diriku. Jangan engkau mencegahku,” katanya sebelum hilang dalam sekejap mata. Demikianlah, Sang Kalamullah yang turun dari langit telah kembali lagi ke langit. Sementara itu, Maryam mengumpulkan para sahabatnya seraya mendekap mereka dengan erat... -o0o- 461Peutup Kasih sayang adalah kedudukan yang jauh lebih tinggi dibanding cinta. Ia bahkan telah menjadi mahkota dan dipakaikan oleh malaikat kepada Maryam… Lalu, tertutuplah Maryam oleh tirai... Hingga tak seorang pun melihat wajahnya, tak seorang pula mendengar suaranya. Tak pernah ia bertutur kata… Selalu berdiam sebagai titahnya. Rahasia kasih yang hakiki adalah bersandar pada kemampuannya untuk diam. Jiwa seorang kesatria adalah menggenggam cinta untuk tidak melepaskannya. Namun, berlepas darinya tanpa pernah merasa memiliki hak atasnya adalah perbuatan yang membutuhkan jiwa kesatrianya kesatria… Dan Maryam, bahkan sebelum kelahirannya, telah dilepas, dikurbankan kepada Allah... Maryam semakin menutup diri, terlebih setelah kelahiran putranya... Demikianlah dunia baginya. Tak lebih dari setarik napas atau sehelai bulu yang terhempas... Segala yang ia cintai telah diberikan kembali kepada Allah. 462Telah ia berikan lagi “Kalamullah” miliknya ke langit. Dan setelah itu, semua kata tidaklah lebih dari sebatas kulit, selebar bayangan, dan gunjingan cinta. Karena itulah Maryam diam… Terdiam dalam keteguhan laksana gunung… Bagaikan mata air terjun dari ketinggian… Demikian ia telah meleburkan diri… Melebur ke dalam rahasia cinta dan kasih sayang… Melebur untuk menampik segalanya, mengasingkan diri menjadi hamba ahli tobat…. Semoga salam dan rahmat Allah terlimpah untuk para hamba saleh yang senantiasa menyeru kita untuk bertobat. Semoga salam dan rahmat Allah senantiasa tercurah kepada Maryam, Asiyah, Khadijah, dan Fatimah… ratunya para wanita surga. Semoga salam dan rahmat Allah, berkah dan kemuliaan Zat yang tiada sesembahan selain Dia, untuk baginda dan rasul-Nya, panutan dan kekasih kita umat manusia, sultan para nabi, Muhammad al-Mustafa , beserta segenap sahabat dan ahli baitnya…. 2 Rajab-14 Syakban 1429 3 Juli – 16 Agustus 2008 -o0o- 463Serial 4 Wanita Penghuni Surga 464
Peristiwakelahiran sang bintang dipenuhi dengan kejadian-kejadian yang luarbiasa, dimulai dengan peristiwa padamnya api abadi di kerajaan Persia, hancurnya sesembahan batu di sana, dan penyerangan pasukan bergajah untuk menghancurkan Ka'bah, yang di kemudian hari menjadi kiblat baginya dan ummatnya sampai akhir zaman, namun tentara yang besar ini
di waktu awal akan menguatkan perjuangan mereka sehingga dapat sampai ke lembah tempat penggembalaan domba dengan lebih cepat. Saat mentari mulai menyengat, mengaburkan pandangan dalam bayangan Kampung Baharat, udara yang berembus kencang dengan membawa wewangian bau cengkih telah memberi isyarat bahwa perkampungan yang akan menjadi tempat persinggahan mereka telah dekat. Kampung Baharat atau Rempah-Rempah ini disebut juga dengan nama Tawaifi Muluk. Sebuah daerah yang diwariskan Raja Meragi dari Negeri Asykanyan. Daerah subur dengan sedikit penduduk ini kebanyakan dihuni orang-orang Persia dan Armenia. Saking kecil perkampungan ini, di peta hanya digambarkan sebagai satu titik. Bahkan, kebanyakan orang sama sekali tidak mengetahui keberadaan kampung ini. Di kampung ini hidup masyarakat yang mencintai musik, membuat alat-alat musik, dan meracik obat-obatan kimia. Pemerintahan Romawi dan para tentaranya yang bahkan telah mencapai Suriah pun belum bisa menguasai kampung ini. Ini merupakan salah satu berkah dari hamparan padang pasir panas yang mengitarinya. Jadi, sebelum menempuh perjalanan panjang mengarungi hamparan padang pasir yang memutih menyala, siapa pun tidak akan bisa mencapai tempat ini. Tak heran kampung ini hanya ditinggali beberapa keluarga. Kampung Baharat adalah tempat persinggahan pertama dalam perjalanan menuju al-Quds. Mengingat perjalanan setelah ini akan penuh dengan bahaya karena hamparan padang pasir bisa berubah-ubah akibat tiupan angin kencang sehingga sulit untuk menentukan arah jalan, kampung ini 42menjadi tempat singgah paling aman. Orang-orang menyebut jalur padang pasir paling berbahaya ini dengan sebutan “jalur kematian”. Hanya petualang berpengalaman seperti Zahter dapat menentukan arah jalan dengan melihat bintang-bintang di langit. Dan memang, orang-orang sudah melupakan jalur ini sebagai pilihan perjalanannya, meski inilah jalur paling singkat menuju kota al-Quds. Tiga kampung yang berderet di jalur ini sebenarnya berkah tersendiri dari Tuhan. Inilah benteng persinggahan. Hanya Allah yang tahu berapa jumlah orang yang selamat dari ancaman para berandal dan kejahatan para penguasa. Kampung Baharat, Haritacilar, dan Vecize berderet seperti untaian mutiara. Setelah melewati ketiga kampung ini, masih sepuluh hari lagi untuk bisa sampai Damaskus, sebelum berlanjut ke kota al-Quds. Mendekati Kampung Baharat, wangi tumbuhan rempah- rempah yang terjemur di bawah mentari menyeruak. Di kampung inilah Merzangus dan Zahter akan tinggal selama satu hari. Ketika jarak hanya tinggal beberapa meter, Merzangus mencium bau tajam rempah-rempah seperti daun mint, cabai, salam, dan bawang putih. Mereka langsung disambut arak-arakan untuk dibawa ke tempat jamuan makan sebelum diantar ke tempat penginapan. Namun, sebelum sempat beristirahat, masih ada pertunjukan tari dan musik oleh para penduduk setempat di halaman depan penginapan. Merzangus tampak sangat gembira. Pertama kali dalam hidupnya ia menyaksikan acara tersebut. Seorang wanita setengah tua bertubuh besar menari dengan kerincing di tangan dan kaki yang diikat dengan tali dari kulit. Sementara itu, beberapa orang memainkan alat musik seperti 43rebana, gendang, dan rebab. Musik kemudian didominasi suara rebab sehingga suasana berubah menjadi sedih. Saat itulah seorang laki-laki hitam dan jangkung memasuki arena pertunjukan. Ia membacakan sejenis puisi dalam bahasa yang tidak dikenal Merzangus. Meski demikian, dari raut wajah dan cara membacanya, kisah dalam puisi itu menyedihkan. Bahkan, lantunan puisi berubah menjadi tangisan. Zahter lalu mengeluarkan sekeping uang perak untuk diberikan kepada mereka. Saat itulah suasana berubah menjadi bergembira. Merzangus heran dengan pertunjukan seperti ini. Bagaimana mungkin mereka yang baru saja menangis tiba-tiba berubah menjadi riang gembira dengan wajah penuh berbinar-binar. Zahter menunduk dan berbisik ke telinga Merzangus. “Saat kau tumbuh semakin besar, kita akan mempelajari bahwa lupa adalah sebuah nikmat yang sangat besar, wahai Putriku. Ya, saat engkau sudah tumbuh besar....” Setelah pertunjukan tari dan musik, Zahter dan Merzangus menyadari bahwa yang bertamu di Kampung Baharat tidak hanya dirinya. Masih ada lagi tiga orang penyembah api yang juga sedang mengadakan perjalanan seperti mereka. Ketiga orang itu akan mengadakan perjalanan ke Damaskus untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke al-Quds. Pergerakan bintang-bintang di langit pada hari-hari terakhir telah membuat keadaan di negeri mereka gempar. Tak heran jika para ahli astronomi penyembah api itu ditugaskan 44mengamati perjalanan pergerakan sebuah bintang berekor yang dinamakan “Mirza”. Seluruh perjalanan sampai tempat bintang berekor itu berhenti harus dicatat untuk dilaporkan kepada sang raja. Pada setiap persinggahan, ketiga ahli astronomi itu harus membawa bukti dan dalil. Namun, setiba di Kampung Baharat, mereka ragu dalam memilih bukti dan dalil yang tepat untuk dibawa. Bersandarkan mimpi yang dilihat, seorang dari mereka memutuskan membawa bunga siklamen. Bahkan, ia sudah memasukkan beberapa kuntum bunga siklamen kering ke dalam tas kulitnya. Para penyembah api itu pernah mendengar sebutan lain untuk bunga siklamen, yaitu buhuru maryam. Mereka pun kebingungan mengaitkan antara bunga buhuru maryam dan perjalanan yang sedang ditempuhnya. Wajarlah jika mereka bertiga selalu bersikap hormat kepada setiap orang alim dan para tetua di tempat persinggahannya dengan harapan mendapatkan bantuan jawaban dari apa yang sedang mereka pertanyakan. Kebetulan, mereka bertemu dengan cendekiawan Zahter. Mereka menyambut kedatangannya dengan mencium tangan ahli ilmu itu. “Kami bertiga adalah para pengembara. Kami mahir menunggang kuda, menjelajahi jalanan, dan taat terhadap perintah yang dititahkan. Menghadapi terpaan angin 45kencang, kami mampu menerobos empasannya selembut sehelai rambut. Meski demikian, kami belum cukup memiliki ilmu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang menjadi kegelisahan kami. Mohon kami diperkenankan meminta bantuan Anda untuk memecahkan beberapa kebuntuan. Hanya kepada Andalah kami bisa memohon bantuan...,” kata seorang dari mereka seraya memberikan penghormatan kepada Zahter. Zahter mendengarkan penuturan mereka dengan saksama. Setelah batuk beberapa kali sembari mengusap-usap rambut janggutnya yang sudah memutih, ia mengikatkan kembali kain sorbannya seraya mulai menjelaskan dunia tumbuh- tumbuhan kepada mereka. “Tumbuh-tumbuhan adalah salah satu dari makhluk Allah yang paling sabar sekaligus berserah diri kepada-Nya,” kata Zahter memulai penjelasan. Zahter lalu mengaitkan pembicaraan tentang dunia tumbuh-tumbuhan dengan kisah Nabi Adam yang diciptakan sebagai manusia pertama. Menurut Zahter, tumbuh- tumbuhan adalah kenangan Nabi Adam sejak ia berada di dalam surga yang kemudian bersamanya pula diturunkan ke bumi. Demikianlah asal-muasal keberadaan dunia tumbuh- tumbuhan di alam ini. Setelah Allah menciptakan langit dan bumi dalam waktu enam hari, keduanya kemudian berpisah. Kemudian, Allah menciptakan makhluk “yang bergerak” di antara langit dan bumi. Dalam penjelasannya, Zahter menyebutkan bahwa awal kehidupan bermula dari air. Para penyembah api itu pun kaget mendengar hal itu. 46Sementara itu, makhluk yang paling awal diciptakan dalam air adalah tumbuh-tumbuhan, yaitu ganggang dan alga. Tumbuhan itulah yang pertama kali menginjakkan kaki ke bumi ini. Setelah itu, Allah menumbuhkan tanaman berbunga dan berbuah. Saat Zahter menerangkan semua ini dengan runtun, ketiga pemuda itu mendengarkannya dengan penuh perhatian. Hal yang membuat ketiganya tertegun adalah keindahan dan kuasa Ilahi dalam menyusun keseimbangan di muka bumi ini. Penjelasan Zahter yang juga menarik perhatian adalah tumbuh-tumbuhan yang diciptakan sebagai dasar kehidupan semua makhluk hidup di muka bumi ini. Mereka adalah makhluk yang menduduki landasan pertama. Sampai suatu hari, saat hari kiamat tiba, mereka pula, alam tumbuh-tumbuhan, yang akan membunyikan loncengnya. Demikianlah menurut penuturan Zahter. Merekalah makhluk terakhir yang akan diangkat dari muka bumi ini. Setelah itu, dunia ini pun hancur. “Dunia ini dimulai dengan tumbuh-tumbuhan dan akan diakhiri pula dengan tumbuh-tumbuhan,” tegas Zahter. Setelah terdiam untuk beberapa lama, salah satu dari ketiga pemuda itu berkata, “Kalau begitu, bukti kedua yang akan kita bawa dari kampung ini adalah tanaman pakis. Semoga saat kita kembali sang raja dapat memahami bahwa tumbuh-tumbuhan itu begitu penting. Apalagi, pakis termasuk tumbuhan generasi awal. Tidak ada di antara kita yang mampu menandingi kekuatan kesabaran yang ada padanya. Jadi, sebaiknya kita simpan tanaman ini. Mungkin, jika suatu hari keberadaan tanaman ini sudah mulai langka di muka bumi, saat itulah hari kiamat sudah mulai dekat. Ah... betapa kebanyakan manusia sangat tidak tahu bersyukur atas 47limpahan nikmat dari Allah. Mereka kerap bersikap tergesa- gesa dan mudah lupa.” Setelah mendengar semua penjelasan Zahter, salah seorang yang paling muda dari mereka segera mendekati cendekiawan itu untuk mencium tangannya. Dia juga bertanya kepada Zahter bunga apa yang harus dibawanya dari kampung Baharat sehingga bisa menjadi bukti dan kenangan yang akan membekas seperti jam yang akan selalu dilihat atau kompas yang dapat selalu menunjukkan arah yang benar. “Dalil ketiga yang harus dibawa akan kalian dapati besok pagi saat memulai perjalanan. Bunga itu begitu harum dan dengan sabar akan membangunkanmu dari saat tertidur paling pulas sekali pun. Ia menjadi simbol yang keharumannya akan disenangi Nabi Akhir Zaman. Semua orang di sepanjang zaman akan berkirim pesan kepada kekasihnya dengan bunga ini. Ia adalah tingkatan cinta paling tinggi; bunga yang paling layak mendapatinya. Dia juga salam. Pembawa berita Sang Pembawa Berita.” Ketiga pemuda itu masih heran dengan apa yang telah diceritakan Zahter. Mereka pun memilih tinggal di dalam tenda serta memberikan kamar yang telah disewanya kepada Zahter. Siapakah Zahter? Mengapa mereka melakukan perjalanan sejauh ini bersama dengan anak perempuan kecil? Keesokan hari, ketiga pemuda itu terbangun oleh semerbak wangi bunga mawar yang ada di taman. Saat itulah mereka baru memahami apa yang dimaksud Zahter pada malam sebelumnya. Mereka begitu terpesona sehingga segera memetik beberapa kuntum bunga dan helai daunnya untuk dimasukkan ke dalam tas perbekalan. Para penduduk terheran-heran melihat apa yang mereka lakukan. Ada di 48antara penduduk yang memahaminya dan segera membacakan puisi-puisi bunga mawar dengan suara merdunya. Tibalah kini hari berpisah. Penduduk Kampung Baharat yang telah menemukan rumus kimia untuk melangsungkan kehidupan dalam kedamaian dan kemakmuran ini tentu tidak tahu bahwa orang-orang di luar sana saling menyerang dan menindas sesamanya. Mungkinkah mereka saat ini sedang mendapati masa-masa terakhir dari kehidupannya? Saat meninggalkan kampung itu, tiba-tiba Merzangus berteriak keras menunjuk pada sebatang tanaman pakis. “Lihat tanaman pakis itu, Kakek! Sayang, ia hanya sendirian seolah-olah hendak berpamitan dari kampung ini seperti kita. Atau mungkin kampung ini yang akan berpamitan kepadanya?” Zahter segera memberi isyarat dengan jarinya kepada Merzangus agar diam. “Segala hal akan berjalan sesuai dengan takdirnya, wahai anakku. Kita semua sementara di dunia ini. Mau tidak mau, kita akan kembali kepada Allah.” Demikianlah... Kampung Baharat pun kelak akan bertemu hari perpisahan. -o0o- Kampung kedua warisan bangsa Eskanyan yang kini berada dalam ancaman Romawi adalah Haritacilar. Ketiga pemuda penyembah api menyaksikan warganya sudah bersiap menunggu mereka saat tiba. Masyarakat di sini suka menerima tamu, sebagaimana masyarakat di kampung sebelumnya. Zahter tergolong tamu kehormatan bagi 49mereka yang telah mengunjungi kampung ini beberapa kali sebelumnya. Biasanya, Zahter berkunjung untuk membawa berita dari berbagai belahan dunia, menceritakan hal-hal baru, menyampaikan inovasi dan penemuan terbaru, serta berkisah tentang legenda-legenda lama dan tabir mimpi. Kampung Haritacilar termasuk pusat permukiman yang begitu indah. Jalanannya sangat bersih. Rumah-rumah dibangun begitu rapi. Di kampung ini seakan-akan tidak ada seorang pun yang melawan kebijakan pemimpinnya. Rumah- rumah berderet dengan rapi mulai dari alun-alun kota. Tampak rumah tempat penelitian astronomi. Ada pula menara yang begitu tinggi menjulang seperti untaian anggur. Di sepanjang pematang, pinggir sungai, halaman rumah, dan di samping sumber air umum, para penduduk setempat menggelar tikar dan dengan tekun menggambar peta dengan pena. Hampir semua orang menunjukkan peta yang sudah jadi, yang sedang ditulis, dan yang akan ditulis di tempat-tempat ini. Peta-peta itu kemudian digantung agar kering tertiup angin sehingga melambai-lambai bagaikan kibaran bendera. Ketiga pemuda penyembah api membeli tiga peta di tempat ini untuk kemudian melanjutkan perjalanan. Satu peta yang mereka lihat dibuat seorang ahli astronomi yang usianya sudah begitu tua, diperkirakan 120 tahun. Namun, apa yang diterangkan seorang yang sudah setua itu tidaklah mudah untuk dipahami. Kata-katanya bercampur aduk antara khayalan, mimpi, kenangan, dan kenyataan. Apalagi, kedua matanya yang tampak memar bukan mencerminkan kedalaman ilmu yang telah didapatnya selama puluhan tahun, melainkan akibat kepedihan hidup yang menumpuk. 50Orang tua itu masih juga memaksa menunjukkan peta yang menggambarkan tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi, seraya terus menerangkan sampai ke pergerakan benda-benda di angkasa yang begitu teratur pada garis edarnya. “Sungguh, segala puji bagi Allah yang telah menciptakan malam dan siang, tua dan muda, kekuatan dan kelemahan dalam keteraturan, seperti saudara satu sama lain,” kata orang tua itu. Para pemuda penyembah api itu menyimpulkan bahwa kondisi pemikiran orang tua pembuat peta itu sudah tidak normal sehingga kata-katanya tidak berguna. Namun, Zahter yang mendengarkan pembicaraan mereka tertawa. “Ketahuilah, orang tua itu sedang menerangkan kepada kalian tentang kekuasaan Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam keteraturan yang sedemikian luar biasa. Yang ditunjukkan kepada kalian itu sebenarnya adalah peta kehidupannya sendiri. Setelah berpuluh-puluh tahun mengadakan perjalanan panjang, menyaksikan kelahiran dan pergerakan berbagai bintang di angkasa, meneliti dan menggambarnya, kembalilah kehidupannya pada fase masa- masa kecilnya. Saat pantai kehidupan sebagai seorang tua telah bertemu dengan pantai kehidupan sebagai seorang anak- anak, peta yang ditunjukkannya tidak lain adalah tentang hari kematian yang begitu dekat. Jika dalam perjalanan yang paling singkat sekali pun kita tidak bisa menentukan arah jalan tanpa sebuah peta, mungkinkah kita tidak menggenggam peta untuk mengarungi perjalanan yang tak akan pernah berujung?” tanya Zahter dalam kedua mata yang berkaca-kaca. 51“Kami semua...,” kata para pemuda penyembah api itu, “Kami semua tidak percaya bahwa ada perjalanan setelah kematian!” Zahter tampak kaget. “Kalau kalian tidak percaya, mengapa begitu khawatir? Mengapa kalian selalu mencari berita dari bintang-bintang di angkasa demi mendapatkan informasi tentang masa depan? Lalu, apa yang telah membuat kalian rela menempuh perjalanan panjang mengarungi padang pasir yang penuh dengan bahaya? Dan apa yang membuat kalian harus pergi ke kota al-Quds? Sungguh, aku pertanyakan semua ini kepada kalian.” Ketiga pemuda itu tampak ingin mengelak atas serbuan pertanyaan Zahter. “Peta yang akan kami bawa sebagai bukti ini tidak lain hanya sebuah peta yang menggambarkan jejak kehidupan seorang ahli cinta.” Mereka tertawa sambil kembali mencermati petanya. Kalau memerhatikan apa yang diterangkan cucunya, peta ini telah dibuat kakeknya selama empat puluh hari dengan tetesan darahnya sendiri. Jadi, peta ini memiliki nilai yang sangat tinggi. Namun, sang cucu telah menjual peta itu dengan harga yang hanya cukup untuk kembali ke kampung halamannya dan membeli dua lembar kertas untuk membuat peta yang baru. Jika seorang yang berbadan tinggi besar dari ketiga pemuda itu memberikan jubahnya, sangat mungkin ia bisa mendapatkan peta dari sang kakek itu. Bahkan, sangat mungkin pula ia mendapatkan potongan harga. Mendengar penuturannya, ketiga pemuda itu pun tertawa satu sama lain. “Meski tidak lagi memiliki baju, setidaknya aku sudah memiliki sebuah peta.” 52Sungguh, peta itu sangat aneh. Di situ tertulis nama- nama kekasihnya yang meninggal karena terjangkit penyakit mematikan. “Tertulis nama kampung, nama pancuran air umum, nama jalan, pekarangan, nama perpustakaan yang dikunjungi, tempat pemakaman sang nenek, dan pohon tempat kudanya ditambatkan. Tempat-tempat ini semuanya digambar secara detail dengan koordinatnya. “Demikianlah, telah ia tulis segalanya tentang sang kekasih....” “Itulah cinta...,” kata Zahter sambil tertawa. Bahkan, Merzangus ikut tertawa dengan menutupi mulutnya. “Cinta.... Ia butuh diketahui, dimengerti, dan dilihat. Namun, cinta itu hanya sesaat usianya. Ia mudah retak, mudah sakit hati, dan tidak bisa digenggam dengan tangan. Cinta ibarat sayap seekor burung yang terbang, bagaikan embus angin saat pintu rumah ditutup, seperti bulu-bulu kecil yang menyelimuti buah labu, atau laksana pancaran cahaya matahari menjelang pagi. Cinta memang begitu pemalu. Kedua mata kita jangan hanya memandangi jalan sang kekasih sehingga kelak tidak menyesal telah berkata cinta. Sebab, cinta adalah sebuah tirai. Engkau bisa saja cinta buta, namun sejatinya ia butuh penglihatan yang sehat. Kalau diperhatikan, penulis peta yang kini sudah lapuk tulang-tulang 53tubuhnya dalam tanah ini mengira sudah tidak ada siapa- siapa lagi selain orang yang dicintainya. Nafsu telah membuat penglihatan sehatnya menjadi buta. Ia mengira bahwa apa saja yang dilihatnya tak lain hanya dirinya. Setiap jalan, setiap arah tujuan, adalah dirinya, berada dalam bayangannya.” Dalam peta ketiga yang akan dijadikan bukti adalah kisah seorang raja dari masa fi. Sebuah peta yang sudah begitu lusuh saking tuanya. Tipis dan halus selembut bulu. Dipenuhi tulisan dan huruf-huruf yang sudah tidak lagi digunakan. Tidak ada seorang pun yang bisa mengerti maknanya. Karena sedemikian banyak tanda dan isyarat rahasia dalam peta itu, sampai-sampai tidak ada bagian yang kosong. Terdapat pula informasi mengenai negara-negara di sekitarnya, gunung- gunung dan lembah tempat persembunyian pasukan musuh, tempat-tempat rahasia benda-benda berharga milik para raja di masa lalu, persembunyian rahasia saat terjadi perang, tempat beribadah rahasia, jalan pintas, gudang cadangan senjata, sumber air, benteng, jembatan, kendaraan perang, area pemeliharaan gajah, unta, serta kesatuan pasukan perang. “Betapa banyak hal yang mesti diceritakan, bukankah begitu?” tanya Zahter saat memerhatikan peta itu sembari menggeleng-gelengkan kepalanya. “Seperti itulah para raja, para penguasa dunia. Sebesar apa pun yang mereka miliki, tetap saja merasa kurang. Mereka tidak puas sehingga meminta lebih. Mereka tidak akan melewatkan waktu untuk tidur sebelum menghitung- hitung segala yang telah dimiliki. Padahal, mereka bahkan tidak bisa membawa selimut tipisnya saat kembali ke alam baka. Sebaliknya, merekalah yang terkekang oleh harta benda yang dimilikinya. Menjadi budaknya. Sampai-sampai, kedua 54mata mereka selalu melihat dengan pandangan keserakahan. Menjadi budak nafsunya untuk selalu meminta lebih dan terus meminta lebih. Semoga Allah membebaskan diri kita agar tidak menjadi budak dari apa yang kita miliki.” “Wahai Kakek! Apakah sebenarnya yang menghubungkan kami dengan takdir sehingga bertemu denganmu?” tanya seorang yang paling muda. “Jika aku katakan bintang berekor Mirza, sungguh ia sangat kecil jika disandingkan dengan bulan, dan apalagi bulan purnama. Jika aku katakan mungkin yang menghubungkan takdir kita adalah bulan purnama, selang berjalannya waktu ia pun akan tampak kecil sampai cahayanya meredup dan hilang. Masih ada yang melebihi bulan purnama, yang tidak lain adalah matahari. Namun, jika aku katakan apa yang telah mempertemukan kita adalah mentari, ia juga akan tenggelam saat waktu malam datang. Jadi, harus ada hal lain yang abadi dan tidak berkesudahan. Siapakah dia? Sepanjang usiaku yang sudah hampir purna ini, aku berjuang menempuh perjalanan sejauh ini untuk dapat menyerahkan anak yatim ini, sementara kalian menempuh perjalanan sejauh ini untuk menyaksikan kelahiran anak yatim yang lain. Semoga salam dan syukur tercurah ke hadirat Allah yang telah mempertemukan kita, yang telah bertitah kepada takdir sehingga segala sebab membuat kita saat ini bertemu. Segala puji bagi Allah yang tiada sesembahan selain Diri-Nya”. Pembicaraan selesai. Semua terdiam. Para pemuda itu melipat dan kemudian memasukkan peta yang mereka beli ke dalam saku untuk digunakan sebagai dalil. Mereka kemudian melompat ke atas punggung kuda 55dan pergi melanjutkan perjalanan. Sementara itu, Zahter dan Merzangus bergerak menuju unta mereka. “Mungkinkah mereka bisa menyeberangi padang pasir ini dengan menunggang kuda. Padang pasir hanya mampu dilewati kendaraan yang mampu memikul beban. Semoga Allah memberi hidayah kepada mereka semua,” kata Zahter kepada dirinya sendiri. -o0o- Saat melanjutkan perjalanan ke arah Kampung Vecize, tiba-tiba jeritan ribuan burung-burung hitam yang terbang di angkasa terdengar. Wajah Zahter berubah sedih. Ia mengusap janggutnya yang memanjang hampir sampai ke perut, sementara tangan yang satunya lagi mengusap keringat yang mengalir dari dahi dengan sorbannya. “Sungguh, ini tanda yang tidak baik,” katanya kepada Merzangus dalam suara lirih... Benar saja, saat ketiga pemuda itu sampai di Kampung Vecize, keadaan tempat itu sudah luluh lantak dijarah berandal. Tak hanya itu, kampung itu juga dibakar. Asap hitam tampak masih mengepul ke angkasa. Perabotan rumah tangga berserakan di mana-mana, sementara barang-barang dagangan berceceran di jalanan. Jasad penduduk dengan tangan dan kepala terpisah tampak di mana-mana. Hati Zahter pedih menyaksikan kejadian ini. Dengan penuh khawatir, ia menutup mata Merzangus dengan sorbannya. Nampan-nampan dari tembaga, cermin, sisir, telur, sayuran, gulungan kain katun, berkarung-karung gandum, serta 56rempah-rempah tercecer di mana-mana. Napas pun seolah- olah terhenti menyaksikan kekejaman yang baru saja terjadi. Kampung kecil ini sebenarnya memiliki alun-alun pertunjukan teater, dengan menara yang yang menjulang tinggi, tempat puisi-puisi yang sudah terkenal di masa lalu dijunjung tinggi, dipajang, dan dibacakan. Namun, tempat itu kini telah hancur dibakar tanpa mewariskan kejayaannya. “Di sinilah pada suatu masa kata-kata telah membangun kerajaan kedigdayaannya. Setiap orang diukur dengan kata- katanya. Ditimbang dengan berapa jumlah bait-bait yang mampu dihafalnya. Di tempat ini pula pada suatu masa para sastrawan diagung-agungkan seperti seorang nabi. Bahkan, di tempat ini pula menggunjing dilantunkan dengan nilai sastra. Dengan kata-kata, peperangan dimulai. Dengan kata-kata pula, perdamaian dicapai. Saat inilah Kampung Vecize mendapati hari penghabisannya bersamaan dengan terhentinya kata- kata,” kata Zahter. Zahter mengajak Merzangus masuk dalam sebuah perpustakaan untuk melihat ada atau tidaknya buku-buku yang tersisa. Tampak ada beberapa kitab dan lukisan yang masih utuh. Zahter lansung mengambil dan membersihkannya dengan saksama dalam linangan air mata. Ia kemudian menaruhnya ke dalam kotak bersama dengan perbekalan yang dibawanya. “Bahkan, sang penjaga pintu perpustakaan telah menghafal tujuh belas ribu bait.” Kampung Vecize dikenal dengan sebutan kampung para penyair. Saat masih muda, para penduduk selalu menunggu kedatangan Zahter. Zahter memang telah mendapat tempat di hati mereka karena keluasan ilmunya. 57“Ahh...,” kata Zahter dalam hati yang menjerit pedih. Sebuah kampung warisan peradaban Eskanyan yang paling indah dan megah seindah kilau mutiara itu kini telah rata dengan tanah. Padahal, Vecize adalah simbol kekuatan kata-kata. Melihat Patung Caesar yang telah berdiri tegak di pintu gerbang, dapat dimengerti kalau pada akhirnya Romawi telah menghancurkan kedigdayaannya. “Ahh...,” kata Zahter. “Berarti orang-orang Romawi sudah sampai ke daerah ini. Berarti dua kampung lainnya kini juga sudah berada dalam bahaya. Berarti kita adalah orang terakhir yang akan berkunjung ke daerah ini....” Saat itu, seorang pemuda dari ketiga pemuda penyembah api mengeluarkan peta dari dalam saku dan kemudian membukanya. “Lihat...,” katanya penuh semangat. “Lihat isyarat dalam peta ini. Ternyata, sang raja sudah memberi tanda dalam peta ini. Di lereng perbukitan inilah ribuan pasukan musuh sudah berjaga-jaga.” Semua orang memerhatikan tanda yang ada pada peta dengan saksama. Ternyata benar, di perbukitan sebelah barat Vecize terlihat kilau senjata ribuan pasukan yang sudah bersiap menunggu perintah untuk melakukan pemberontakan. “Inilah...” kata Zahter, “Inilah perbedaan paling nyata antara seorang raja dan penyair. Seperti apa kita hidup, seperti itu pula kita akan mati. Dan seperti apa kita mati, seperti itu pula kita akan dibangkitkan kembali. Sekarang, tempat jasad para penduduk dan puing-puing yang kita injak ini adalah kampung yang di dalamnya kata-kata diagungkan melebihi segalanya. Mereka menghormati kekuatan kata-kata. Mengapa? Hal 58pertama yang diciptakan Allah adalah kata-kata. Jadilah’, begitu Allah beriman. Bersamanya seluruh jagat raya terjadi dengan perintah-Nya. Suatu hari, sebagaimana kampung Vecize, ajal akan menjemput kita. Sungguh sudah banyak raja telah menjadi tanah bersama dengan singgasana, istana, kuda, dan semua harta kekayaannya. Bahkan, banyak pula raja zalim yang membuat kuil menjulang tinggi sebagai surga tipuannya kini juga sudah tenggelam ditelan bumi.” Zahter melanjutkan pembicaraannya dengan mengambil sebuah ranting kering seraya mengangkatnya tinggi-tinggi ke udara “Coba perhatikan! Kini di manakah raja zalim beserta tentara dan istananya yang telah melemparkan Nabi Ibrahim ke dalam unggun perapian? Padahal, Nabi Ibrahim kala itu telah bertanya pada bulan, kemudian bertanya lagi pada matahari untuk mencari jawaban apakah benar yang menjadi pencipta adalah mereka. Sayang, mereka yang terbit kemudian tenggelam, yang datang kemudian pergi, yang layu, yang mati, tidak mungkin bisa menjadi pencipta. Aku tidak menyukai yang tenggelam...’ demikian Nabi Ibrahim telah berkata lantang. Semoga Allah rela kepadanya. Segalanya datang dan pergi. Hanya satu yang akan tetap abadi. Dia tidak lain adalah Allah. Dialah Yang Mahakekal.” Seteleh bicara seperti itu dengan tegas dan cepat, Zahter melompat ke punggung untanya. Sejenak ia membenahi pelananya kemudian menarik Merzangus untuk naik ke atas. “Silakan kalian mengikuti kami sampai ke Damaskus. Dengan seizin Allah, Zahter akan mengantar kalian sampai ke sana dengan selamat. Dia tahu hamparan padang pasir ini sebagaimana genggamannya. Kalian pun bisa selamat dari 59empasan pasir yang bisa membutakan mata dan juga aman dari para ruh gentayangan yang telah menjadikan banyak kesatria terkubur ke dalam tanah.” -o0o- Mereka hanya tinggal di Damaskus dua hari. Kota telah dikuasai Romawi. Setiap tempat terdapat mata-mata yang sewaktu-waktu dapat memberi informasi kepada penguasa Romawi. Seolah-olah tidak saling kenal, mereka tinggal di penginapan berbeda. Setiap warung tempat mereka membeli barang-barang kebutuhan sehari-hari ramai diperbincangkan kerusuhan yang telah terjadi di kota al-Quds. Para penduduk Yahudi yang mau tidak mau harus menerima kekuasaan Romawi membuat suasana kian hari semakin memanas. Bahkan, hampir semua orang yang berkumpul di warung-warung juga sudah mengerti soal perselisihan di antara para rahib di Baitul Maqdis yang saling berebut kekuasaan. Menurut apa yang telah ramai dibicarakan, al- Quds kini telah tenggelam dalam kerusuhan. -o0o- 606. Para Pejaln Tiba di al-Quds Al-Quds, Masjidil Aqsa Dari Ibnu Khaldun “Ketahuilah bahwa, Zat Yang Maha Mencipta telah menjadikan beberapa tempat di muka bumi ini menjadi sesuatu paling mulia yang penuh dengan berkah dan pahala; tempat ibadah, tempat mulia yang telah dikisahkan melalui bahasa para nabi dan rasul. Tempat yang menjadi inayah dan kebaikan bagi umat manusia, yang menjadi perantara paling mudah untuk mendapatkan pahala dan kebaikan. Dalam Sahih Bukhari dan Muslim telah diriwayatkan bahwa utusan Allah telah menerangkan bahwa di dunia ini ada tiga masjid. Ketiganya lebih mulia daripada semua masjid yang ada. Yang pertama di Mekah, kedua di Madinah, dan yang ketiga adalah Baitul Maqdis di al-Quds. Masjidil Aqsa atau “Masjid yang Jauh”. Pada masa Sabii, di daerah ini berdiri patung di bawah bintang Venus. Tempat orang-orang Sabii memberikan kurban dan minyak zaitun untuk Venus. Mereka menebarkan minyak zaitun itu 61ke hamparan padang pasir, sampai kemudian patung yang terletak di padang pasir ini menjadi tua. Setelah bangsa Israil menguasai Baitul Maqdis, tempat ini dijadikan arah kiblat untuk beribadah. Asal mula kejadian itu seperti demikian. Nabi Musa bersama dengan kaumnya telah meninggalkan Mesir demi mendapatkan tanah yang telah dijanjikan Allah , baik kepada Nabi Yakub maupun Nabi Ishak . Sesampainya di padang pasir Tih, Allah memerintahkan mereka mendirikan kubah dari pohon sent. Ukuran luas, panjang, bentuk, hiasan, dan kriteria lainnya telah disampaikan pula oleh Allah melalui wahyu. Diperintahkan pula kepada mereka melengkapi bangunan masjid tersebut dengan menara, tembikar, piring, hidangan, lilin, dan juga mazbah sebagai tempat pemotongan hewan kurban. Semua itu telah diterangkan dengan jelas di dalam Taurat. Kubah pun telah dibangun. Kotak perjanjian tabut diletakkan di dalam kubah. Sebagai ganti dari papan yang diturunkan dari langit yang pecah, dibuatlah perjanjian di antara mereka yang berisi sepuluh kalimat. Papan perjanjian itu kemudian dimasukkan ke dalam kotak perjanjian. Dengan perantara Nabi Musa, Allah telah memerintahkan Harun mengatur pemotongan hewan kurban. Saat Bani Israil mengadakan perjalanan melewati padang pasir Tih, mereka mendirikan kubah tersebut di antara tenda- tenda mereka. Ke arah itulah mereka mendirikan salat. Mereka pun kemudian memotong hewan kurban di mazbah yang terletak di depannya. Setelah itu, mereka menantikan wahyu dari Allah turun. Sesampai di Damaskus, kubah itu masih dijadikan sebagai arah kiblat. Akhirnya, kubah 62tersebut diletakkan di Sahra yang terletak di dalam Baitul Maqdis. Meski Nabi Daud telah berupaya membangun sebuah masjid di Sahra, usia beliau tidak sampai. Dalam keadaan seperti ini, Nabi Daud pun berwasiat kepada putranya, Nabi Sulaiman . Akhirnya, pada tahun keempat kepemimpinannya, bertepatan dengan 500 tahun Nabi Musa wafat, masjid pun selesai didirikan oleh Nabi Sulaiman . Nabi Sulaiman telah membangun tiang-tiang masjid dengan menggunakan tanah liat dihias zamrud. Pintunya berlapis emas, termasuk relief, kubah, dan menara. Kuncinya juga dari emas. Untuk menempatkan tabut, ia membuat kuburan di belakang masjid. Kotak yang menjadi tempat menyimpan papan perjanjian itu didatangkan dari kota Nabi Daud yang bernama Sihyun dengan dibawa para dukun Bani Israil. Nabi Sulaiman telah menempatkan kotak itu di pekuburan. Kubah, piring, tembikar, dan lampu diletakkan di tempat yang semestinya. Semua barang tersebut telah berada di tempat yang semestinya sampai waktu yang telah diizinkan Tuhan. Setelah usia bangunan mencapai 800 tahun, Buhtunnasir merobohkan gedung itu. Ia membakar Taurat dan Tongkatnya. Ia juga melelehkan reliefnya dan membuang batu-batuannya. Sampai kemudian, Uzair yang menjadi nabi Bani Israil pada waktu itu membangun kembali Baitul Maqdis atas bantuan seorang putra dari salah seorang putri Bani Israil yang telah diusir pemimpin bangsa Persia, dan kemudian ditawan Buhtunnasir saat kembali ke Baitul Maqdis, yang bernama Behmen. Namun, penguasa pada masa itu telah menentukan sendiri bentuk, luas, dan panjangnya sehingga dirinya tidak dapat membangun kembali masjid dalam 63ukuran sebagaimana yang telah dibangun Nabi Sulaiman . Setelah masa itu, Bani Israil hidup dalam masa kekuasaan Yunani, Persia, dan Romawi.” Demikianlah sejarah singkat Masjidil Aqsa sebagaimana tertuang di dalam “sejarah” Ibnu Khaldun. Saat kami coba mengupasnya kembali dengan kesaksian Merzangus, al-Quds berada dalam kekuasaan Romawi. Kerusuhan, pertikaian, pertempuran, dan ketidakadilan selalu terjadi di setiap masa di sepanjang sejarah manusia. Namun, sepanjang sejarah manusia pula harapan dan doa akan perdamaian, kemakmuran, dan limpahan hidayah tiada pernah berhenti dimohonkan. Demikian pula apa yang diharapkan oleh Zahter dan Merzangus. Harapan akan kebaikan yang telah mendorong keduanya untuk melakukan perjalanan panjang. Sementara itu, tiga pemuda yang menyertai keduanya adalah para pejuang di dalam pencarian kebenaran. Takdirlah yang telah membawa mereka bersama sampai ke al-Quds. -o0o- 647. Hnna, Istri Imrn Hanna adalah salah seorang wanita al-Quds keturunan Bani Fakuz yang paling baik akhlak, pendidikan, dan rupanya. Ia tinggal dalam sebuah rumah yang berdekatan dengan saudara perempuannya, al-Isya. Takdir juga telah menggariskannya sangat mirip dengan saudara perempuannya itu, baik dalam kecantikan maupun kebaikan. Keduanya juga sesama keturunan keluarga besar Lawi. Mereka menikah dengan orang-orang alim terhormat keturunan Nabi Harun yang diberi kehormatan sebagai pengasuh Baitul Maqdis. Hanna menikah dengan seorang alim agung bernama Imran dari Bani Masan, sementara al-Isya menikah dengan Nabi Zakaria yang keturunannya segaris dengan Nabi Daud . Secara umum, kehidupan kedua wanita bersaudara ini sangat baik. Namun, lama sudah keduanya menahan kerinduan atas seorang anak yang tidak juga kunjung dikabulkan. Meski keduanya adalah kekasih dan pelindung bagi para yatim, fakir- miskin, dan musair, tetap juga tidak ada seorang buah hati yang memanggilnya “ibu”. Tidak ada pula seorang anak yang lelap dalam dekapannya. Meski demikian, sebagai keturunan para nabi yang dikaruniai ketaatan dan akhlak mulia, mereka 65tidak mengeluhkan keadaan itu. Mereka adalah hamba yang memahami bahwa takdir Ilahi telah digariskan sehingga keduanya pun selalu menunjukan rasa rela dan bersyukur terhadap apa yang telah dilimpahkan. Akan tetapi, inilah kehidupan. Sebagai seorang wanita, tentu saja jiwa Hanna secara naluri mudah luluh seperti daun yang dihempas angin kencang. Menguning dan gugur adalah tinggal menunggu masa. Sehari-hari, Hanna suka memintal benang dari bulu domba di bawah rerimbunan pohon zaitun di belakang rumahnya. Keahlian memintal telah menjadi budaya kaum wanita di Palestina. Hal ini juga telah menunjukkan seni mereka dalam bersabar selama berabad-abad. Setiap hari, mereka sibuk mengolah bulu-bulu domba. Setelah direbus, bulu-bulu itu kemudian dijemur. Tak lupa puji-pujian dilantunkan dan lagu didendangkan secara bergantian satu sama lain. Setelah itu, bulu-bulu diteliti, disisir, dan dipilah mana yang sudah bersih dan kering. Tidak salah kata pepatah di Palestina yang mengatakan bahwa “setiap wanita akan terlihat kemahirannya dari bagaimana caranya memegang jarum pintal”. Sampai saat ini pun pintalan benang kesabaran masih terus dirajut di tanah Palestina. Sesaat Hanna termenung. Pandangannya sesekali menyapu ke arah hamparan perkebunan zaitun yang berbisik dalam embusan angin semilir. Setiap kali memandang ke arah itu, seolah-olah daun-daun pohon zaitun menyapanya bagaikan seorang gadis Palestina yang bermata hitam, sehitam buah zaitun. Pada saat itu pula berembus angin semilir yang menebar kesejukan dari sungai Ariha di dataran Yordania. Bagi Hanna, embusan angin itu seolah-olah sedang berbicara kepadanya. 66“Ah, seandainya saat ini ada seorang tamu yang mengetuk pintu menginginkan air atau sesuatu yang lain,” katanya dalam hati. Sesaat setelah berkata seperti itu, hati Hanna menjadi merinding. Terlintas dalam pikirannya kata “ingin” yang baru saja diucapkannya. Ia pun segera membenahi isi hatinya dan ingin sekali menarik kembali kata yang telah terlepas dari mulutnya itu. “Mengapa keadaan seseorang yang menginginkan sesuatu dariku telah membuatku bahagia? “Bukankah manusia tidak butuh selain kepada Allah Yang Maha Mencukupi segala kebutuhannya?” renung Hanna. Sesaat kemudian, angin kembali bertiup semilir seolah- olah memanggilnya menuju hamparan perkebunan zaitun. Hanna pun kembali memandangi daun-daun pohon zaitun yang lembut bergoyang-goyang seolah bersuara dan memanggilnya “ibu!” Ah, seandainya sekarang ada seorang anak yang memanggilnya “ibu”, yang merengek-rengek kepadanya meminta digendong. Ia pun akan membawanya membelai daun-daun pohon zaitun itu. “Ah,” kata Hanna sembari mengembuskan napas panjang. “Mengapa setiap kata hanya berkutat untuk ingin’ dan meminta’?” Ingin sekali Hanna memberikan diri seutuhnya kepada seseorang. Ingin sekali ia mendengar seseorang memanggil namanya dan akan menjawab panggilan itu dengan kata “Ya, ibu di sini...!” Ingin sekali dirinya mendapati seseorang yang terikat kepadanya, yang selalu membutuhkan keberadaannya, yang akan selalu memanggilnya dengan kata “ibu”. Ingin... ingin... dan ingin. 67Kemudian, Hanna merasakan dirinya seperti gelombang lautan yang kadang-kadang meluap. Mengapa dirinya menginginkan keterikatan? Ia pun tidak bisa menguak rahasia itu. Keinginan untuk memiliki yang datang dari lubuk hatinya telah memuat dirinya merasa malu. Ia pun meletakkan jarum pintalnya sambil berjalan ke arah rerimbunan pohon zaitun untuk mengeyahkan lintasan- lintasan yang ada dalam pikirannya. Genap tiga puluh tiga jumlah pohon zaitun yang ada di dalam kebunnya. Ini adalah kebun zaitun yang diwariskan paman suaminya, Imran. Di kebunnya ini setiap pohon memiliki nama sendiri-sendiri. Hanna pun selalu memanggil masing-masing pohon sesuai dengan namanya. Hanna melangkahkan kakinya untuk mendekati satu pohon zaitun yang bernama “Balkis”. Ia perhatikan akarnya yang kokoh menancap ke dalam tanah. Batangnya tinggi menjulang dengan dedaunan yang hijau merindang. Pohon itu seakan-akan menirukan keadaan seorang ratu dari Saba yang bernama Balkis, megah dan agung duduk di atas takhta. Pohon zaitun yang bernama Balkis seperti ratu di antara pohon-pohon lainnya. Hanna kagum saat memerhatikan ketinggiannya. Sampai-sampai, ia pun terkejut saat mendapati sangkar burung di antara ranting-rantingnya. Ia perhatikan induk burung berwarna abu-abu yang hinggap di sarang itu. Sang induk ternyata sedang membawa makanan untuk anak- anaknya yang baru saja menetas. Anak-anak burung yang sedang lapar itu seakan-akan serempak dengan seisi tenaganya berteriak memanggil “ibu” kepada induknya. Ah, betapa hati induk burung itu menderap karena memberi makan semua anaknya satu per satu dari mulutnya? 68Luluh hati Hanna mendapati pemandangan seperti itu. Lebur seisi jiwanya di bawah pohon itu dalam perasaan pedih karena tidak juga kunjung mendapat karunia seorang anak. Ia pun bersimpuh, membuka isi jiwanya, menuangkan ke dalam panjatan doa. “Wahai Zat yang menjadi pencipta langit dan bumi! Yang menjadi Tuhan seluruh makhluk. Ke mana pun diriku mengarahkan pandang, selalu hamba dapati semua ciptaanmu berpasang-pasangan. Engkau yang telah menciptakan buah- buahan zaitun dan tin berpasangan dengan ranting-ranting keringnya. Engkau ciptakan pula lautan berpasangan dengan mutiara, lebah dengan madu. Engkau telah memberikan kapal kepada Nuh untuk menyelamatkan umatnya, mengamanahkan Ismail dan Ishak kepada Ibrahim . Duhai Allah, Engkau adalah Tuhanku Yang Mahakuasa, Mahaagung, yang tidak mungkin merasa susah untuk menciptakan sesuatu. Engkau juga tidak mungkin berat mengeluarkan dari perbendaharaan- Mu jika menganugerahkan sesuatu. Duhai Allah yang kekuasaan-Mu adalah mutlak adanya, sungguh berkenanlah menganugerahkan seorang anak yang saleh bagi keluarga Imran! Mohon berkenan Engkau mengabulkan doaku ini.” Kadang, sepeti inilah keadaan manusia. Setelah kedua tangannya ditengadahkan ke angkasa, hilang sudah beban yang menindihnya. Lepas sudah tali-tali yang menjerat jiwa. 69Lega serasa bagaikan kesegaran gelombang air yang berlarian ditiup angin di permukannya. Hilanglah sudah sesak yang dirasa Hanna. Hatinya seperti terbang begitu selesai memanjatkan doa. Bagai pepohonan yang kembali terbangun dari tidur panjang di musim salju; bermekaran kuncup daun dan bunga-bunganya. Hanna seakan-aka kembali pada usia dua puluhan tahun. Memerah terasa pipinya, kemilau lembut rambutnya. Saat kembali ke rumah, Imran pun terheran-heran dibuatnya karena mendapati sang istri yang begitu penuh dengan luapan cinta kepadanya. Apa yang terjadi dengannya? -o0o- Imran adalah salah satu pemuka agama yang bertugas di Baitul Maqdis. Alim mulia keturunan Nabi Harun yang kini mengajari Taurat kepada empat ribu ahli tulis dan empat belas ribu penghafal. Zahter, teman dekatnya, sesekali berkunjung ke al-Quds untuk bertemu dengannya. Setelah selesai mengunjungi kota itu, Zahter akan melewatkan waktunya bersama para santri ahli tulis dan penghafal untuk beribadah. Selanjutnya, ia akan memotong kambing kurbannya di halaman depan masjid untuk kemudian dimasak dan dihidangkan kepada para anak yatim dan janda. Zahter juga selalu mengunjungi Nabi Zakaria, seorang yang sangat disegani olehnya dan diberi kepercayaan untuk mengurus tempat kurban yang diberi nama Betlehem. 70Demikianlah, kunci-kunci Baitul Maqdis pun selalu tergantung di pinggang Nabi Zakaria. Zahter juga selalu membawakan hadiah, baik untuk Hanna maupun untuk al-Isa, berupa bumbu-bumbu yang ia bawa dari tempat yang sangat jauh. Imran telah mengingatkan istrinya saat bersama-sama makan di meja makan. Sepuluh hari lagi, Zahter akan datang berkunjung. Hanna pun gembira dengan berita ini. “Seolah baru kemarin dia datang,” katanya saat menyuguhkan makanan di depan suaminya. Empat tahun lalu, dalam waktu yang sama, Zahter telah datang mengunjungi rumahnya. Saat itu Hanna merasa bahagia mendapat penjelasan akan tabir mimpi yang dialaminya. Hanna bermimpi mendapati mentari terbit dari dalam rumahnya. Zahter pun menafsirkan mimpi itu dengan berkata, “Dengan seizin Allah, mahkota raja bangsa Yahudi akan muncul dari dalam rumah ini.” Mimpi dan tabir itulah yang semakin memberi harapan kepada Hanna sejak saat itu. Sementara itu, Imran tidak lantas bahagia setiap kali membicarakan anak. Demikian pula saat itu. Apalagi, penuturan Zahter semakin memberi harapan kepada Hanna untuk menjadi seorang ibu. Imran rupanya khawatir kalau kerinduan untuk menjadi seorang ibu akan kembali membuat jiwa sang istrinya guncang. Jika saja percakapan tentang anak ini tidak pernah terjadi, mungkin saja keduanya tidak akan menjadi sedemikian merasa pedih. Demikianlah apa yang dipikirkan Imran. Acara makan pun berlangsung hening. Kepedihan Hanna yang memang selama berpuluh- puluh tahun telah dirasakan karena merindukan seorang anak akan semakin terasa pada saat-saat seperti ini. Air mata 71pun berlinang di kedua pipinya. Suasana di rumah menjadi sedemikian hening. Jika saja ada seorang anak, suasana akan menjadi ramai. Ia akan berlarian di dalam rumah, kamar, dan halaman. Kehidupan terasa semakin membesar, sementara Hanna sendiri merasa kerdil dalam pandangannya. Setiap kali masalah anak muncul ke permukaan, setiap itu pula tubuhnya terasa mengerdil, luluh, mencair hingga seolah-olah akan mengalir. Tidakkah suaminya ikut bersedih dengan keadaan ini? Tentu saja ia juga sangat menginginkan kelahiran seorang anak. Namun, hal itu adalah urusan Allah. Apa pun yang telah digariskan Allah, itulah yang akan terjadi. Terhadap pemahaman seperti ini, Imran selalu lebih teguh daripada Hanna. “Bukankah semua ini adalah ujian dari Allah, takdir yang telah ditetapkan oleh-Nya atas kita? Karena itu, janganlah bersedih wahai Istriku,” katanya selalu. Bahkan, kadang Imran bicara lebih keras untuk mengeluarkan kepedihan dan kesedihan yang terpendam di dalam hati Hanna. “Wahai Istriku! Engkau adalah wanita mulia dari keturunan Harun . Seorang wanita yang beriman. Pantaskah engkau berpedih hati seperti ini? Jangan lupa kalau bersedih hati merupakan bentuk penentangan. Allah sangat berkuasa untuk menguji kita dengan segala hal. Tentu saja ini adalah bagian dari ujian kita di dunia. Tidakkah kamu mengerti hakikat ini?” Tentu saja ia tahu karena ia adalah seorang Hanna. Menjadi seorang ibu adalah hal yang lebih diidam- idamkannya melebihi apa saja di dunia, meski semua anak 72yatim, anak terlantar, dan para tamu Allah yang datang ke kota al-Quds telah menganggap Hanna sebagai ibundanya. Demikianlah Hanna. Hatinya kembali meluap-luap saat sang suami menyinggung kedatangan Zahter. “Maksudku...,” katanya kepada Imran dengan nada penuh gugup. “Engkau adalah hamba Allah yang senantiasa mengerjakan apa yang disenangi oleh-Nya. Seorang hamba beriman yang mulia, rendah hati, suka membantu, dan tidak tega menelantarkan seekor semut sekali pun. Jika saja kita memohon kepada Allah untuk dikarunia seorang anak yang bersinar bagaikan terang cahaya…!” Mendapati kata-kata istrinya ini, Imran hanya memandangi wajahnya penuh belas kasih. Wajahnya yang begitu maksum seperti seorang anak yang sedang merajuk serta teguh meminta tanpa kenal putus asa telah begitu menyentuh hati sang Imran. Namun, ia adalah seorang yang tetap menunjukkan ketegaran. Ia pun kembali menata diri untuk memberikan pemahaman kepada sang istri. “Segala puji kita haturkan ke hadirat Allah. Ribuan kali syukur kita haturkan atas limpahan nikmatnya yang tiada terhingga. Namun, sebagaimana yang telah kita dengar dari apa yang telah disampaikan para pendahulu kita, seyogianya kita selalu mencegah diri dari memohon sesuatu kepada Allah untuk nafsu kita sendiri. Engkau adalah seorang yang beriman, setia, mulia, dan suka membantu sesama. Namun, entah mengapa kadang engkau terhasut oleh apa yang digunjingkan orang-orang sehingga tidak jemu untuk memiliki anak demi nafsumu. Engkau adalah seorang wanita, seorang istri, seorang teman hidup. Tentu saja keinginan untuk memiliki anak adalah hakmu. Hanya saja, engkau tidak bisa tahu mana yang 73lebih baik dan mana yang lebih jelek bagi kita. Semoga engkau tidak akan pernah lupa akan hal ini. Maksudku, apa yang sekarang ada adalah lebih baik bagi kita, meskipun teramat berat. Ketahuilah, pada hal itu ada kebaikan bagi kita. Jadi, janganlah kita masuk ke dalam ujian karena terlalu meminta. Semoga Allah melindungi diri kita dari meminta untuk nafsu kita sendiri. Semoga Allah menjaga kita menjadi budak dari meminta.” Hanna tertegun mendengarkan dan mencoba menyirami kobaran api di dalam hati dengan apa yang dinasihatkan suaminya. Ia pun hanya terdiam. Terdiam dalam berbicara. Meski hatinya terus berkata-kata. Meski jiwanya terus membara. Pada malam itu, Hanna bangun untuk berdoa kepada Allah dengan penuh ketulusan hati. Ia utarakan kepada Allah rahasia dan segala apa yang ada di dalam hatinya. Ia angkat kedua tangannya untuk berdoa sebagaimana yang dipanjatkan Nabi Daud . “Duhai Allah! Hamba memohon kepada-Mu untuk dilimpahkan cinta-Mu, cinta orang yang mencintai-Mu, dan untuk mencintai segala amal yang akan mendekatkan diriku kepada-Mu. Duhai Allah! Jadikanlah hamba wasilah bagi limpahan nikmat-Mu yang aku cintai dan wasilah bagi cinta dari apa yang Engkau cintai. Jauhkanlah diriku dari permintaanku yang tidak Engkau kabulkan, dari permintaan yang menghindarkan diriku dari apa yang Engkau cintai. Duhai Allah! Jadikanlah cinta-Mu lebih aku cintai daripada cintaku kepada keluarga, harta, dan air dingin yang aku butuhkan di saat sangat kehausan. Duhai Rabbi! Jadikanlah diriku pengabdi 74kepada-Mu, kepada nabi-Mu, malaikat, rasul, dan hamba- hamba-Mu yang saleh. Jadikanlah diriku orang yang mencintai apa yang Engkau cintai dan jadikanlah diriku orang yang mencintai apa yang rasul, nabi, malaikat, dan hamba-hamba saleh-Mu cintai. Duhai Rabbi! Bangkitkanlah hatiku dengan cinta-Mu! Jadikanlah diriku hamba yang baik, sebagaimana yang Engkau kehendaki. Duhai Rabbi! Bimbinglah cinta dan perjuanganku kepada Zat-Mu! Jadikanlah semua usahaku hanyalah untuk meniti jalan yang Engkau ridai!” Sampai pagi hari Hanna bermunajat. Hanna adalah wanita Palestina. Demi Allah yang telah bersumpah demi zaitun dan Gunung Tur, dialah wanita Palestina yang paling pantas menyandang busana “seorang ibu”. Kesabarannya mirip pohon zaitun. Kesuburannya selebat buahnya. Pada esok hari, kembali Hanna mencurahkan isi hatinya kepada pepohonan zaitun di halaman belakang rumahnya. Kembali ia akan berbagi isi hati dengan pohon-pohon zaitunnya. Ia rawat pohon zaitun itu satu per satu. Ia berbicara dengannya, menyiraminya, membelai daunnya, dan menggemburkan tanahnya. Pohon-pohon zaitunnya seolah mengerti bahasa hatinya. Saat Hanna mendekatinya, masing- masing pohon itu seolah-olah tersenyum dalam keabu- abuan daunnya seraya berucap salam dengan suara gemersik dedaunannya. 75“Wahai para wanita cantik Palestina, bagaimana kabarmu pagi ini?” sapa Hanna kepada mereka. Hanna pun memerhatikan ranting-ranting zaitun yang tampak lelah menyangga buahnya. “Lelahkah dirimu karena begitu berat menyangga buahmu? Pegal sekali pasti pinggangmu menggendongnya. Namun ketahuilah, beban yang engkau tanggung itu adalah hal terbaik yang ada di dunia! Sungguh, betapa bahagia kalian dapatkan anugerah dari Allah untuk menjadi seorang ibu!” ujar Hanna yang akhirnya bersimpuh tak kuasa menahan tangis. Tidak lama setelah itu, Hanna terperanjat dengan burung- burung elang yang terbang dari rerimbunan pohon. Hanna pun mencari arah terbang burung berwarna abu-abu itu. Untuk kali ini, ia mendapati seekor burung yang hinggap di sangkarnya. Terdengar serempak anak-anak burung yang ada di dalam sangkar itu menyambut kedatangan sang induk membawa makanan. Hanna pun menyelinap di balik rimbun bayangan dedaunan agar tidak mengganggu induk burung. Sang induk tampak begitu gusar membagi rata makanannya kepada anak-anaknya yang sudah serempak membuka lebar- lebar mulutnya. Kedua cakar sang induk mencengkeram kencang salah satu cabang di depan sangkarnya. Kedua sayap mengepak untuk menjaga keseimbangan dan juga untuk melindungi anak-anaknya dari terjatuh maupun serangan musuh. Dengan saksama, Hanna memerhatikan induk burung sampai seolah-olah detak jantungnya pun terdengar oleh dirinya. Setelah selesai menyuapi satu per satu anak-anaknya, sang induk melompat-lompat di sekeliling sangkar untuk beberapa lama sampai kemudian terbang. Namun, beberapa 76lama kemudian sang induk kembali lagi. Kali ini ia membawa ranting kering dengan paruhnya. Ia pun mulai memperbaiki sangkarnya. Kemudian, ia pun kembali terbang dan kembali membawa ranting sampai beberapa kali untuk memperbaiki sangkarnya. Hanna lama berdiam diri di balik rerimbunan untuk memerhatikan apa yang sedang dilakukan induk burung. Dirinya pun seakan-akan telah menyatu dengan pohon zaitun yang ada di dekatnya. Kejadian yang ia perhatikan merupakan pemandangan terindah baginya di dunia, yang menerangkan indahnya menjadi seorang ibu. “Duhai Rabbi!” sebutnya. “Duhai Rabbi yang telah melimpahkan kepada pepohonan dan burung-burung untuk menjadi ibu! Perkenankanlah hamba merasakan menjadi seorang ibu!” -o0o- 778. Pereun di al-Quds Zahter mengenang hari-harinya di kota al-Quds dengan penuh kerinduan. Setelah hampir empat tahun tidak berkunjung, ia memutuskan melakukan perjalanan jauh guna mengobati rasa rindunya itu. Seperti biasa, setiap kali akan mengadakan perjalanan, Zahter memberitahukan para petinggi kota al-Quds. Mereka rupanya juga telah menantikan kedatangannya. Apalagi, Zahter sudah begitu lama tidak berkunjung ke Palestina. Kedatangannya kali ini tentu saja sangat berarti bagi mereka. Sesampai di sana, Zahter akan tinggal di rumah İmran. Zahter kerap bercerita tentang Nabi Adam dan Nuh . Setelah itu, ia akan melanjutkan ceritanya tentang Nabi Ibrahim dan juga keluarga Imran. Mereka adalah para hamba pilihan yang telah menjadi pelita bagi semua penduduk di dunia. Karena begitu sering bercerita tentang kedua nabi agung dan keluarga mulia itu, hal tersebut seolah-olah menjadi wasiatnya. Ia akan bercerita dan selalu bercerita dengan mengagungkan nama dan keturunannya yang telah membuat dunia mengenalnya dengan dakwah pada jalan kebenaran. Ya, 78keluarga Ibrahim dan Imran adalah penunjuk jalan kehidupan dan para pelindung sesama. Zahter juga berkali-kali mengisahkannya kepada Merzangus. Sudah disebutkan di dalam suhuf Nabi Idris tentang ciri-ciri manusia terpilih, yaitu cerdas, rendah hati, dan ahli hikmah. “Syarat menjadi orang pilihan adalah harus berpisah diri,” kata Zahter. “Berpisah dari kefanaan dunia, berpisah dari segala hal yang jelek dan kotor untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Dengan begitu, kedudukan sebagai orang terpilih akan tercapai.” Menjadi manusia pilihan tidak bisa diraih dari sekadar garis keturunan yang diberkahi. Harus ada perjuangan, ketaatan, upaya mendekatkan diri kepada Allah dengan berlepas diri dari jeratan dunia, dan teguh menjadi seorang hamba. Sebagaimana ia tidak bisa didapat dengan berupaya, ia juga tidak bisa didapat dengan tidak berupaya. Demikianlah untuk menjadi hamba terpilih dari sisi Allah. “Wahai anakku! Aku tidak menceritakan semua ini kepadamu sebagai hal yang percuma. Nanti, setelah aku mengamanahkanmu kepada keluarga Imran, engkau akan memahami semua ini dengan lebih jelas,” kata Zahter. “Allah telah memilih dan menjadikan Adam, Nuh, serta keluarga Ibrahim dan Imran lebih tinggi daripada seluruh 79alam. Sungguh, Allah Maha Mendengar lagi Mahatahu,” tambah Zahter. Zahter kemudian bercerita kepada Merzangus tentang sosok Nabi Adam sebagai manusia terpilih di antara semua manusia. Bahkan, karena Adam adalah manusia pertama, Allah telah memilihnya memikul amanah dari semua makhluk di jagat raya. Dengan amanah itu pula ia dimuliakan, diberikan kemampuan. Penunjukan Nabi Adam tersebut berarti pula sebagai momen manusia telah dipilih Allah sebagai khalifah di muka bumi. Ini merupakan tanggung jawab yang sangat berat, di samping sebagai sebuah kebanggaan dan kehormatan. Begitulah menurut penuturan Zahter. Manusia kedua yang sering Zahter sebut adalah Nabi Nuh. Allah telah mengutus Nuh untuk membimbing kembali umat manusia sepeninggal Nabi Adam. Saat itu, umat telah rusak dan kehilangan arah sehingga menjadi manusia yang kerap menumpahkan darah dan membuat kerusakan di muka bumi. Dengan badai dan topan, semua daratan disapu rata oleh banjir besar. Semua peradaban diluluhlantakkan di dasar lautan. Tumbuhlah generasi manusia kedua yang dibangun kembali bersama Nabi Nuh. Dengan demikian, Nabi Nuh adalah generasi kedua bagi umat manusia. Mungkin kisah ini telah ratusan kali Zahter ceritakan kepada Merzangus. Namun, kali ini ia mengulanginya kembali seolah sedang berwasiat kepadanya. Zahter bercerita dengan serius, menatap ke dalam mata Merzangus. Wanita kecil itu seolah-olah almari buku sehingga Zahter ingin menyimpan catatan kehidupannya di dalamnya. Setiap kali Zahter bercerita tentang Nabi Nuh, wajahnya berubah penuh rasa takut. Punggungnya langsung membungkuk, tubuhnya merinding dan menggigil seolah 80sedang sakit malaria karena kemuliaan Nabi Nuh. Bahkan, Zahter tampak lemas tak sadarkan diri. “Satu tangan Nabi Nuh menggenggam kiamat, sementara tangan yang lain memegang erat kebangkitan dunia baru,” kata Zahter. “Nabi Nuh telah menjadi yang terpilih!” Orang ketiga yang selalu Zahter tekankan sebagi manusia “terpilih” adalah Nabi Ibrahim dan keluarganya yang mulia. Allah sendiri yang telah mengagungkan Nabi Ibrahim dan ahli baitnya. Nabi Ibrahim juga ayah para nabi. Sebuah keluarga yang menyusun garis keturunan mulia, mulai dari Nabi Yakub, Nabi Yusuf, Nabi Musa, Nabi Harun.... Ditambah dua nabi agung yang tak lain adalah kedua putranya, yaitu Nabi Ismail dan Nabi Ishak. Setiap kali Zahter bercerita tentang kedua nabi ini, wajahnya berbinar-binar penuh luapan kegembiraan. Dengan penuh semangat, ia bangkit dari duduknya dan bersiap tegak seolah-olah hendak menyambut kedatangan seseorang. Ia juga membenahi baju dan menata sorban di kepalanya. “Insyaallah, berita gembira mengenai kedamaian dan keselamatan akan datang dari kedua nabi putra Nabi Ibrahim, yaitu dari keturunan Nabi Ismail dan Ishak. Allah akan menyempurnakan agamanya dengan mengutus khatimul anbiya yang merupakan keturunan dari salah satu nabi, Ismail atau Ishak,” kata Zahter selalu. “Setiap kali mengingat kedua nama itu, tercium semerbak wangi surga olehku.” Memang demikian. Ibrahim adalah nabi pemecah berhala yang telah menjadi contoh akhlak mulia sepanjang masa. 81Sebagai orang terpilih keempat, Zahter sering mengisahkan kemuliaan keluarga Imran. Ia juga bercerita bahwa keputusan Allah menunjuk hamba-Nya menjadi manusia terpilih tidak hanya berdasarkan garis keturunan, keluarga, atau genetik. “Allah telah menjadikan para hamba-Nya menjadi manusia terpilih dengan ketakwaan, ketaatan menghamba, dan perjuangan dalam keteguhan tauhid.” Menurut Zahter, “manusia terpilih” itu berkait erat dengan perjuangan seorang hamba dalam memikul ujian. “Allah tiada akan memilih hamba-Nya tanpa melalui ujian,” katanya dalam senyum yang pedih. Bukankah Adam telah diuji dengan kedua putranya, Qabil dan Habil? Nabi Nuh diuji dengan istri dan putranya yang tidak mematuhi ajarannya? Nabi Ibrahim diuji dengan ayahandanya sendiri yang mengusirnya dengan melempari batu? Setelah putra Adam , Qabil, membunuh saudara kandungnya sendiri yang bernama Habil hingga terjadi pertumpahan darah pertama di muka bumi, Nabi Adam kemudian melakukan uzlah. Saat itu, Nabi Adam merasakan kepedihan yang luar biasa karena satu putranya yang telah mendahuluinya, sementara satu putranya yang lain pergi tanpa kejelasan. Nabi Nuh juga memikul pedih dengan ujian dari putranya. Segala upaya yang dilakukan, setelah meminta dengan sangat, tidak mampu mengajak sang putra naik ke kapalnya. Ia pun harus menahan kepedihan menyaksikan putra kandungnya sendiri hanyut dalam kekufuran. Bagaimana dengan Nabi Ibrahim? Sudah berpuluh-puluh tahun ia tak juga kunjung mendengar seseorang memanggilnya ayah. Setelah usianya 82telah menginjak lanjut, Nabi Ibrahim akhirnya dikaruniai seorang putra. Namun, ia harus memikul ujian melaksanakan perintah Allah untuk mengurbankan sang putra. Zahter bercerita tentang hubungan “seorang hamba terpilih” dengan ujian berat ujian yang dipikulnya. Lalu, apa hubungannya dengan keluarga Imran? Merzangus telah menanyakan hal ini kepadanya beberapa kali... Namun, ia akan mendapatkan jawaban yang hampir sama. “Engkau akan menemukan jawaban itu setelah menjadi saksi untuk mereka. Menjadi saksi kemuliaan keluarga Imran sebagai pendukung kebaikan. Mereka adalah para hamba terpilih dari sisi Allah. Bersaksi dan mengabdilah kepada mereka!” Inilah wasiat sang kakek kepada Merzangus. Ia telah mewariskan keluarga Imran kepada cucunya. Dan Merzangus pun telah memahami amanah ini dengan sepenuh hati. Ia menerimanya dengan berjanji akan mengabdi kepadanya. Sejak saat itu, Merzangus akan menuliskan kesaksiannya dalam lembaran putih untuk kakeknya. -o0o- Tibalah hari yang telah dinanti-nanti. Setelah melewati kota Damaskus, karavan kini mulai memasuki pintu gerbang kota al-Quds. Imran menyambut kedatangan Zahter bersama dengan rombongan di depan pintu gerabang Baitul Maqdis sebelah timur.. 83Empat tahun lamanya mereka tidak bertemu. Mereka pun saling merindukan satu sama lain. Ada tiga pemuda yang belum dikenal Imran dan juga seorang bocah perempuan berada di sisi Zahter. “Ini adalah para tamu Allah yang telah datang sampai ke pintu rumah Imran.” “Sementara itu, anak ini adalah putriku yang telah ikut bersamaku selama empat tahun ini. Merzangus namanya. Jangan lihat dari usianya yang masih kecil. Dia sudah hafal Taurat. Ketiga pemuda ini sahabatku yang telah menemani perjalanan di padang pasir. Kedatangan mereka ke Palestina untuk mengikuti jejak sebuah berita. Awalnya, mereka adalah para penyembah api. Namun, setelah mendapati berbagai peristiwa, mereka mendapatkan hidayah sehingga bertauhid dan memeluk agama yang benar. Aku memberi mereka nama seperti pada putra Nabi Nuh, yaitu Ham, Sam, dan Yafes. Mereka akan mengabdi untuk keluarga Imran.” Setelah berkenalan, ketiga pemuda itu diantar untuk menginap di Baitul Maqdis, sementara Merzangus melihat- lihat dulu sekeliling kota. Perempuan kecil itu heran karena belum pernah melihat kota sebesar ini. “Aku sudah sangat tua. Aku sudah lelah menempuh perjalanan panjang.” kata Zahter berulang-ulang saat berbincang dengan Imran. “Anak yatim ini diamanahkan kepadaku. Menurutku, ia juga bisa menjadi teman yang baik bagi istrimu, Hanna. Sungguh, Merzangus adalah anak yang baik.” Hanna menerima para tamu dengan sangat baik. Lebih- lebih kepada bocah yang akan menjadi temannya. Hanna merasa bahagia sehingga dunia seolah-olah telah menjadi 84miliknya. Keduanya berpelukan erat. Hanna memeluk Merzangus penuh dengan luapan kasih sayang dan perhatian. Saat itu, wajah kecil itu terlihat begitu kusut dan dipenuhi debu-debu padang pasir. “Sungguh, hadiah yang dibawa Zahter kali ini yang paling baik dari hadiah-hadiah yang selama ini ia bawa,” kata Hanna sembari memeluk dan menciumi Merzangus. Hanna kemudian membawa Merzangus untuk mandi di hamam bersama dengan adik perempuannya, al-Isya. Dengan penuh perhatian dan luapan rasa gembira, mereka memandikan Merzangus. Mereka mencuci rambut, menggosok wajahnya, mengusapkan parfum bunga mawar, dan membelikan pakaian baru dari beludru. Saat makan malam, Imran bercerita kepada Zahter mengenai perkembangan keadaan di Baitul Maqdis. Imran juga menyinggung keadaan bangsa Yahudi yang kian hari kian sulit semenjak al-Quds berada di bawah kekuasaan Romawi. Perseteruan di antara para rahib semakin menunjukkan perpecahan. Para rahib lebih berpihak kepada wali Romawi demi mendapatkan perlakuan khusus. Menurut Nabi Zakaria, Imran, para ahli tulis yang mendukungnya, keadaan para rahib yang terjun ke dunia politik hanyalah akan semakin membuatnya jauh dari Allah dan dari rakyat. Lebih-lebih, bangsa Yahudi juga telah merasakan pengalaman bahwa terjunnya para rahib ke dunia politik hanya akan membuat agama dan tauhid berada dalam tekanan dan rawan disalahgunakan. Imran sering mengatakan bahwa “al-Quds sudah kehilangan ruhnya; pergi meninggalkannya”. Al-Quds kini terguncang. Penindasan dan penjajahan telah menambah 85kepedihan hati rakyat sehingga kerusakan akhlak dan agama terjadi di hampir setiap sudut kota. Demi mendapatkan sedikit keuntungan dari pemerintah Romawi, sebagian rahib bahkan tega menjual berita palsu kepada penguasa untuk menjerumuskan sesama. “Nafsu dan pemenuhan hasrat jasmani telah membuat ruh meninggalkan Palestina. Ruh yang dikalahkan dunia dan materi telah membuatnya bersembunyi,” kata Imran. “Sungguh, ini adalah perniagaan yang teramat merugikan,” kata Zahter. Kekalahan adalah hal yang sangat berat dan pedih. Dalam tekanan dan kekuasaan pemerintah Romawi, para ahli tauhid yang memiliki keteguhan dan keberanian dibutuhkan untuk menyeru kepada agama dan kebaikan. Ini akan membuat ketulusan dan keteguhan iman setiap orang menjadi jelas. “Aku melihat para rahib Baitul Maqdis seperti bongkahan emas yang dimasukkan ke dalam tungku dengan nyala api yang sangat panas,” kata Zahter... “Sungguh para rahib telah mendapati ujian yang sangat berat. Mereka telah berada dalam ujian kobaran api. Hanyalah mereka yang memiliki ketakwaan teguh akan dapat selamat dari kobaran tungku api itu. Semoga Allah tidak menjadikan kita sebagai orang yang meleleh dalam kobaran api itu”. 86Para rahib telah terjerumus ke dalam perniagaan yang teramat sangat jelek lagi merugikan dengan terjun ke dunia politik demi mendapatkan tempat di sisi pemerintah dan wali Romawi. Mereka telah menjual harga diri, kehormatan, ruh, dan keyakinan dengan alat tukar pangkat, kekuatan, dan ketamakan terhadap harta dunia. Inilah sebuah jual beli yang akan membuat manusia merugi... Padahal mereka adalah kaum yang telah mendapatkan kemuliaan dan kehormatan dari sisi Allah dengan tugas mereka menyampaikan pesan ajaran-Nya. Padahal tugas mereka adalah membimbing umat ke jalan tauhid. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, meski dalam permukaan mereka menjalankan syariat, namun sejatinya mereka telah kehilangan nilai-nilai ajaran agama yang suci dalam hati dan kehidupannya. Rasa belas kasih dan ketulusan hati telah berganti pada keserakahan dan ketamakan dunia... “Terhadap mereka yang kepadanya diberi Kitab, Allah telah mengambil janji engkau harus menjelaskannya kepada umat manusia, engkau tidak bisa menyembunyikannya’. Sedangkan mereka tidak mendengarkan perintah ini. Mereka telah menggantinya dengan dunia yang bernilai rendah. Sungguh jeleknya perniagaan yang mereka lakukan.” -o0o- 879. Perjalnn Terkir aer Empat puluh hari setelah perjumpaan itu, penyakit yang selama ini Zahter sembunyikan mulai kambuh kembali. Setiap saat, ia merasa kedinginan seperti seorang yang menderita sakit malaria. Suhu badannya naik turun dengan sangat drastis. Tubuhnya pun lemah dan hanya mampu terbaring di rumah Imran sepanjang waktu. Merzangus terus menunggunya. Ia duduk menemani “kakeknya” di samping kepalanya. Setiap kali Zahter merintih, Merzangus akan segera mengganti kain lap yang dibasahi dengan air cuka untuk menyeka kening dan lengannya. Sesekali Merzangus meneteskan sirup bunga mawar ke bibir Zahter yang serasa tidak akan pernah terbuka lagi. Setelah itu, Merzangus akan memijit-mijit Zahter dengan minyak, menyisir rambutnya dengan minyak mint untuk meredakan rasa sakit di kepalanya karena tua dan sering berkelana. Akibat suhu badan yang tinggi, Zahter sering kali menggigau. Ia berkhayal mengenang masa mudanya saat masih berlari-lari di tengah-tengah padang pasir untuk berburu kijang. Ketika kembali sadar, Zahter akan membacakan beberapa hafalan doa kepada Merzangus dan memintanya 88berbisik lirih melantukan puji-pujian, sampai kemudian Zahter kembali tidak sadarkan diri. Tiga hari sudah Zahter sakit. Panas badannya tidak kunjung turun. Kata-kata yang selalu diulang setiap kali dapat siuman adalah “Semoga Allah berkenan mengampuni diriku. Semoga Allah berkenan mengambil nyawaku saat masih berada di kota al-Quds!” Namun, bagaimana dengan Merzangus? Ia akan kembali merasa kesepian di dunia yang begitu luas ini. Zahter telah menjadi ibu, ayah, dan juga temannya selama bertahun-tahun. Merzangus selalu memandangnya sebagai rumah tempat tinggalnya. Sejak kampung halamannya diserbu sekawanan perampok, tidak ada lagi rumah tempat bernaung baginya yang masih kecil. Sejak saat itu pula kehidupannya telah berubah untuk selalu mengembara, berjalan dan berjalan, hidup di atas punggung unta, serta memasang dan membongkar tenda. Hari-harinya kebanyakan dilalui dengan berjalan kaki. Ia tak pernah menetap sehingga tak memiliki rumah maupun kampung halaman. Dalam kehidupannya yang seperti ini, Zahter yang sudah tua renta adalah segala-galanya. Ia berarti rumah dan tempat tinggalnya, berarti pula kampung halaman bagi dirinya. Ya, Zahter adalah ibarat sebuah rumah bagi Merzangus, hamparan tanah yang tidak akan pernah meninggalkan dan tidak pula akan membuatnya tergelincir saat menapakinya. Karena itulah, saat Merzangus mendapati sosok yang sudah dianggap sebagai “kakek”-nya berada dalam ambang ajalnya, ia rasakan dunia ini semakin besar baginya, sementara dirinya makin kerdil mendapati kehidupan ini. 89Saat kehidupannya sebagai anak yatim baru saja mulai dapat dilupakan, saat itu pula segalanya kembali lepas darinya. Hidup sebatang kara terasa seperti memukul remuk jiwanya yang masih kecil. Hanna yang juga mengunjunginya mencari alasan untuk mengirimkan Merzangus ke rumah saudaranya, al-Isya. Merzangus pun menuruti permintaannya tanpa merasa curiga. Apalagi, ia juga sangat mencintai saudara perempuan Hanna itu. Sering ia bermain berlarian dan berlarian. Namun, kali ini Merzangus bukan dikririm untuk bermain bersamanya. Secara usia, al-Isya jauh lebih muda daripada Hanna. Mereka juga sama-sama belum dikaruniai seorang anak. Tak heran jika keduanya sering memperebutkan Merzangus. Al-Isya adalah istri Nabi Zakaria. Nabi Zakaria yang berasal dari keturunan Daud , seorang nabi yang begitu dihormati, diberi kepercayaan memegang kunci Baitul Maqdis dan mengurus tempat persembahan kurban. Dalam waktu yang singkat, Merzangus pun telah menjadi sumber keceriaan di rumah Imran dan Nabi Zakaria. Hanna rupanya tidak ingin Merzangus yang masih kecil menyaksikan saat-saat ajal kakeknya. Itulah alasan mengirim Merzangus ke rumah al-Isya. Al-Isya menyambut kedatangan Merzangus dengan riang. Ia mendekapnya seraya mengajaknya bermain. Namun, 90Merzangus malah menangis tersedu-sedu seraya berbisik, “Kakek tidak ingin mengajakku pergi untuk yang terakhir kalinya, al-Isya!” -o0o- Sesuai dengan isi wasiat, Zahter dimakamkan di lereng bukit, di bawah pepohonan zaitun di kota Palestina yang sangat dicintainya. Sementara itu, Ham, Sam, dan Yafes sama-sama beruzlah dengan mendirikan gubuk di dekat pemakamannya, seakan-akan menjadi penjaga Zahter sang cendekiawan yang telah meninggal dunia. -o0o- 91
MaryamBunda Suci Sang Nabi . Buku ini beerisi cerita keteladanan , keteguhan ,kesabaran dan kecintaan seorang ibu kepada perintah Allah. Tersimpan di: Main Author: Sibel Eraslan (-) Format: Terbitan: Jakarta : Kaysa Media, 2014. Subjects: Fiksi turki. Online Access: